07. Keputusan Agra

25 5 0
                                    

Nathan bergerak acak di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.

Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa.

"Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.” Kenapa Anda malah mondar-mandir di depan pintu? Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.

“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.

“Semuanya beres?”

“Iya, Tuan. Rumah baru Anda sudah siap dan sudah bisa ditempati hari ini juga.”

Agra manggut-manggut. Memuji kerja cepat Asisten Pribadinya. Tidak pernah mengecewakan dan selalu bisa diandalkan. Siapa yang tahu kalau Nathan sedang sedih menjalankan tugas yang satu ini.

“Ada masalah? Kenapa wajahmu ditekuk begitu? Kau seperti anak TK yang kehilangan mainan.”

Anda tidak tahu saja bagaimana Nyonya menangis tersedu. Saya sampai tidak tega melihatnya. “Begini, Tuan. Tadi Nyonya menangis begitu mengetahui Anda ingin tinggal terpisah dari rumah utama. Nyonya besar berharap Anda memikirkan kembali keputusan Anda. Beliau masih sangat merindukan Anda setelah lima tahun berpisah. Nyonya ...,” menjeda. Tarikan alis Agra menandakan Nathan harus segera menuntaskan kalimatnya. “Nyonya bahkan memohon pada saya supaya bisa membujuk Anda.”

Agra terlihat menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Manik hitamnya sedikit lembab begitu membayangkan wajah Ibunda tercintanya yang menangis. Teringat pelukan erat ketika di bandara dan genggaman tangan yang tak mau terlepas ketika di dalam mobil. Selama ini hanya ibundanya yang selalu mendukung semua keputusan Agra, tetapi untuk tetap tinggal di rumah itu ... ah, rasanya Agra tidak bisa.

“Bagaimana, Tuan?” Nathan menginterupsi sampai fokus Agra kembali padanya.

“Kau tahu sendiri, Nath. Aku tidak bisa tinggal di rumah yang penuh kenangan buruk itu! Hatiku sakit setiap kali mengingat kelakuan Papah yang memaksaku bertunangan dengan Allen. Karena keegoisan papah sampai aku harus kehilangan Kinara. Terlebih lagi ketika melihat wajah ayahku, rasanya terlalu berat untuk tinggal bersama dalam satu atap. Lagi pula sejak kecil hubunganku dengan ayahku juga tidak pernah baik.”

“Saya mengerti, Tuan, akan saya sampaikan semuanya kepada Nyonya.”

“Katakan jika Mamah bisa tinggal di rumahku. Kapan pun dan berapa lama pun. Pintu rumahku selalu terbuka untuknya.”

“Baik, Tuan.”

“Sekarang kekuasaanku sudah melebihi ayahku. Aku bisa melakukan apa pun sesuai keinginan hatiku. Dia tidak bisa memaksaku lagi. Aku sudah lelah menjadi biduk caturnya. Pakaian, pendidikan, teman, bahkan istri semuanya sudah diatur olehnya. Aku lelah menjadi boneka hidupnya.”

More than MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang