5. Sampah yang Tahu Diri

2.2K 536 49
                                    

-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

-

"Motor?" tanya Shia ketika Atma mengulurkan helm kepadanya.

"Kenapa? Tempatnya jauh. Enggak mungkin kita jalan kaki," jawab Atma enteng sembari menaiki kendaraan matic beroda dua yang terparkir tepat di depan minimarket.

"Sebentar," kata Shia ketika ponselnya bergetar.

Air muka Shia berubah semakin keruh membaca pesan dari layar ponsel. Gurat amarah bahkan diam-diam menampakan diri di sana.

Ibu :

Ibu sama Bapak lagi enggak di rumah kamu mendingan jangan pulang dulu ya, Nduk.

Nanti Ibu kabari kalau udah sampai rumah.

Lagi. Ibunya selalu berbohong soal ini. Entah sudah puluhan atau mungkin ratusan kali Sarinah selalu menutupi kelakuan si Ayah tiri. Ingin rasanya Shia melimpahkan amarah, tetapi entah kepada siapa dan kenapa.

"Gimana? Saya enggak akan maksa kalau kamu enggak mau," kata Atma menarik kembali helm di tangan Shia.

Perlahan mata Shia yang masih sembab mendongak dan mengamati sosok Atma tanpa ekspresi.

"Kamu pasti kira saya bukan orang baik-baik. Enggak apa-apa, kita jalan--"

"Ayo berangkat!" potong Shia tiba-tina duduk di atas motor Atma sembari memasang helm ke atas kepalanya sendiri.

Atma mengedik. Kemudian tanpa banyak bicara membawa pergi Shia dari depan minimarket menuju sebuah tempat.

***

Sepanjang perjalanan Shia diam seribu bahasa. Tatapannya terlihat kosong mengamati kendaraan bermotor yang melintas di kanan dan kirinya, walaupun isi kepala Shia sebenarnya penuh dengan beragam hal. Tentang keluarganya, dirinya, dan juga orang yang membawanya pergi malam ini.

Sepintas Shia mengamati punggung Atma kemudian diam-diam mengintip mata tajam pria itu dari pantulan kaca spion. Si pria asing yang baru Shia temui tiga kali. Pria asing yang dengan sukarela dia ikuti malam ini. Pria asing yang ucapannya tanpa sadar memunculkan rasa penasaran di benak Shia.

Entah. Mungkin Shia sudah benar-benar sudah gila.

Sampai kening Shia mengerut ketika kendaraan beroda dua itu melambat dan berhenti tepat di depan sebuah bangunan. Bangunan yang dipenuhi lampu kecil warna-warni dan wewangian bercampur bau pahit yang tidak lagi asing di hidung Shia sejak mengenal ayah tirinya.

Beberapa pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian safari tampak keluar-masuk ruangan sambil memasang pembatas, meskipun jam buka tempat itu masih beberapa jam lagi. Panik bercampur bingung pelan-pelan bergumul di benak Shia ketika Atma memarkirkan motor miliknya di salah satu sudut club malam yang bertuliskan Paradise itu.

Minimarket 24 JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang