-
-
Shia mendongakan kepalanya ke arah papan nama sebuah ruko di salah satu sudut kota. Motor Atma terparkir tidak jauh dari tempat itu. Tempat terpencil yang mungkin tidak banyak orang tahu, bahkan lewati terkecuali memang mereka berencana pergi ke tempat ini.
Simha Tattoo Studio.
"Ayo, Shia!" ajak Atma meminta Shia mengikutinya.
Sebelum tubuh Atma memasuki pintu depan, Shia seketika menarik lengan pria itu. "Kamu yakin saya harus kerja di tempat ini?"
Atma menatap studio tato itu dan Shia bergantian. Dia kemudian mengedik. "Kenapa enggak?"
"Gambar di kertas aja enggak bisa gimana mau gambar di badan orang?" gerutu Shia ragu.
"Siapa bilang kamu bakal kerja jadi seniman tato. Saya juga tahu kemampuan kamu. Kalau saya paksa kamu, nanti saya yang kena omel Leon," jawab Atma jujur dan tanpa dosa. Dia kemudian membuka lebar pintu tinggi itu.
Alis Shia menyatu rapat kala nama itu mengingatkan dia akan sosok teman Atma yang berambut panjang dengan tubuh penuh tatto. "Leon?"
"Iya. Kamu udah kenal, kan? Ayo masuk. Jam segini biasanya dia masih di dalam," ajak Atma sambil mendorong kedua bahu Shia untuk masuk ke dalam.
Setengah hati, Shia membuka pintu depan studio yang tidak dikunci itu. Pandangannya menyapu tiap jengkal ruang berukuran 4 meter x 5 meter itu dengan wajah kaget. Pasalnya ruangan itu tampak berantakan dengan dekorasi serba gelap dan kursi tato untuk pelanggan di tengah ruangan. Peralatan untuk merajah tubuh juga berbaris sepanjang dinding di sebelah kanan, sementara cermin besar menempel di sisi yang lain.
Wangi lavender bercampur musk dan sedikit apak mendobrak masuk hidung Shia. Entah sudah berapa lama ruangan ini tidak mendapatkan sinar matahari dan udara segar dari luar. Meskipun sebuah air conditioner kurang dingin terpasang di salah satu dinding.
"Dia pasti di belakang, ikut saya," ajak Atma meminta Shia mengikuti dirinya melewati pintu di dekat cermin. "Le! Leon!"
Sebuah ruangan lebih rapi dan lebih luas dengan beragam dokumen menumpuk di dekat meja menyambut Shia. Seperangkat sound system berjejer rapi di sebelah kanan. Termasuk seorang pria yang tengah menangkupkan tubuhnya di atas meja dengan midi controler di sisinya. Pria itu seakan tidak peduli dengan kedatangan Atma dan Shia. Dia sibuk mengusap dan menepuk lembut alat kesayangannya sambil menggumamkan sebuah lagu lawas.
"Le! Woy! Tidur lo?"
Leon tetap diam seribu bahasa dan sibuk dengan dunianya sendiri.
"Gimana tempat lo mau laku kalau yang punya malas-malasan kayak gini. Leon!" panggil Atma sambil mengetuk-ngetuk dengan kasar permukaan meja di dekat wajah Leon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minimarket 24 Jam
General FictionMenurut kamu hidup itu apa? Sebagai orang yang pernah menyerah dengan hidup saya enggak tahu. Masa? Tapi satu hal yang pasti hidup itu.... *** Namanya Kaneishia atau Shia. Bagi seorang perempuan yang baru genap berumur dua puluh satu tahun dia meras...