-
-
Cahaya matahari senja semakin tua di luar menyisakan bayangan Atma dan Shia di dalam ruangan Rumah Beta yang tidak sebegitu luas. Debu tipis-tipis melayang perlahan dari arah jendela, yang kusennya penuh rayap, ke dalam ruang kelas.
"Rencana kamu sebenarnya ada di sini apa?" tanya Shia tanpa basa-basi dengan tatapan terus menghindari Atma, selagi tubuhnya bergerak menyusuri rak peralatan menulis yang berjejer dari sudut kelas yang satu ke sudut yang lain.
Bayangan Atma yang sedang mengepak beberapa kotak pensil warna bekas pakai dari atas meja-meja di tengah ruangan, seketika membeku. Kepala Atma menoleh kepada Shia. Dari mimiknya jelas sekali pria itu menyimpan tanda tanya.
"Maksud kamu?" tanya Atma mengamati Shia dari jauh.
Shia mendesis jengkel. Baginya jawaban Atma seperti sebuah kalimat omong kosong yang sengaja pria itu sampaikan di depannya untuk menutupi sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya bukan urusan Shia, tetapi hati kecilnya diam-diam khawatir bila sesuatu itu bakal melukai Laras. Lebih-lebih Rumah Beta.
DUK! DUK! SREETT!
Suara benda tumpul saling beradu beberapa kali membuat Shia spontan menoleh. Alisnya menyatu rapat ketika dia menemukan Atma memaksakan tumpukan pensil warna itu untuk masuk ke dalam laci nomor tiga paling bawah yang jelas-jelas sudah kehabisan tempat, sambil berjongkok di lantai.
"Pensil warna tempatnya bukan di situ. Tapi di sebelah lemari," kata Shia tanpa permisi mengambil kotak plastik di tangan Atma dan memasukan benda itu ke dalam rak paling sudut ruangan. "Mbak Laras bisa ngomel-ngomel kalau kamu salah masukin."
Atma bangkit. Sambil bersidekap, dia mengamati Shia dari jauh. Perempuan itu bahkan kini dengan telaten sudah menumpuk buku-buku bacaan yang berserakan di meja-meja lipat di tengah ruangan dan menjejalkan semuanya ke dalam rak. Kemudian tanpa diminta, Shia merapikan kertas gambar hasil prakarya anak-anak ke dalam lemari penyimpanan. Meskipun, mulutnya berdecak terus-menerus.
Atma diam-diam mengulum senyum ketika mengamati Shia terasa lebih hidup di depannya. Walaupun dia tahu maksud dari decakan Shia pasti mengenai pekerjaannya yang bagi perempuan itu mungkin tidak becus.
"Jeki ikut belajar lagi di sini?" cetus Shia tiba-tiba sambil menarik selembar kertas gambar yang berada di paling atas tumpukan dan menunjukannya ke arah Atma. Air mukanya terlihat kaget.
Senyap terasa di antara mereka. Atma mendekat agar dapat menangkap maksud Shia lebih jelas. "Jeki?"
"Nurzaki," jawab Shia kemudian memandangi kertas gambar di tangannya. Sebuah gedung bertingkat dengan warna-warna mencolok terlihat pada kertas itu. Namun, dibandingkan gambar lainnya, warna dan gedung itu terlihat lebih rapi.
"Maksud kamu anak yang kurus dan rambutnya keriting itu, kan?" tanya Atma berdiri di sebelah Shia ikut mengamati kertas gambar itu. Tangan besarnya bergerak hendak mengambil kertas gambar itu dari tangan Shia. Akan tetapi, tanpa sengaja dia malah menyentuh kulit tangan Shia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minimarket 24 Jam
General FictionMenurut kamu hidup itu apa? Sebagai orang yang pernah menyerah dengan hidup saya enggak tahu. Masa? Tapi satu hal yang pasti hidup itu.... *** Namanya Kaneishia atau Shia. Bagi seorang perempuan yang baru genap berumur dua puluh satu tahun dia meras...