"Takdir itu seperti angin, tidak ada yang tahu kemana ia akan berhembus."
Ini adalah bagian FULL FLASHBACK. Selamat membaca ^v^
Aku menatap sedih ke depan, air mataku turun dengan deras. Orang - orang sibuk menenangkanku. Tapi itu percuma, tidak akan berhasil karena aku bahkan tidak bisa mendengarnya, suara mereka redam oleh atensiku kepada rumah di depanku.
Kobaran api di depanku melahap rumah, bahkan anggota keluargaku. Ibuku, Ayahku, Adik kecilku. Aku masih bisa mendengar jerit kesakitan dari dalam rumah, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka bilang itu terlalu berbahaya.
Kira - kira setelah lima belas menit, para pemadam kebakaran baru sampai. Aku kesal, mereka datang terlambat. Rumahku sudah sunyi, mereka mungkin sudah terbakar hangus di dalam. Aku juga menyesal karena pergi ke minimarket, andai saja aku tetap di rumah, aku bisa bersama mereka.
Mobil pemadam kebakaran berjejer rapi, aku bisa lihat ada tiga mobil disana. Aku juga bisa lihat ada ambulans. Aku berdecih, tidak berguna. Bahkan korbannya sudah mati!
Air mataku terus turun kebawah, lidahku terasa kelu, dadaku sesak seakan pasokan udara tidak tersisa. Kenapa rumahku bisa terbakar?
Aku terus bertanya dalam hati, mempertanyakan segala takdir yang membuatku tak berdaya. Saat api di padamkan, satu persatu kantung jenazah di angkut.
Aku kembali menangis dengan putus asa, memantapkan langkah ke arah kantung jenazah yang kini banyak orang di sekitarnya.
Aku jatuh terduduk saat melihat wajah satu - persatu dari mereka. Mereka benar benar hangus, bahkan kaki adik kecilku terlepas. Oh tuhan...
"Mama..."
Aku berkata lirih, saat melihat orang yang melahirkanku nampak mengenaskan dengan wajah hangus dan kepala yang botak. Rambutnya terbakar.
"Tolong, jangan di autopsi. Biarkan saja disini, besok akan di makamkan," Aku berujar mantap dengan suara yang sedikit bergetar.
Petugas itu mengangguk, "Mau di simpan dimana?"
Aku berpikir sejenak, menatap kerumunan dan mencari seseorang, "BIBI!"
Bibi Juliet yang melihatku langsung berlari, "Astaga! Aku baru tahu kejadian ini, maafkan aku Arsya," Bibi Juliet memelukku erat.
"Tidak apa - apa, Bibi. Arsya baik - baik saja. Tapi tolong, apakah bisa menyimpan mereka di rumah Bibi dulu? Besok baru di makamkan."
"Tentu! Tentu sayang! Pak, tolong bawa jenazah itu ke rumah di ujung sana, alamatnya...." Bibi mengintruksikan para petugas itu. Dia memberikan alamat rumahnya.
Aku tersenyum ke arah Bibi Juliet saat dia sudah selesai dengan urusannya, "Terimakasih, Bibi. Kamu penyelamatku hari ini," Ujarku dengan tulus.
Bibi Juliet mengusap bahuku, membuatku agak emosional dan menangis, "Tenang saja, selama ada aku dan pamanmu, semua akan baik."
Aku mengangguk, "Aku ingin ke rumahku dulu, Bibi."
Bibi Juliet menatap sedih ke arahku, "Tapi semuanya sudah menjadi abu, Arsya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsya : The Second Life
FantasiApa...ini? ***** Jika bertransmigrasi ke masa lalu atau masa depan, mungkin aku percaya. Tapi...kenapa harus di dalam buku?! Perkenalkan, namaku adalah Arsya Sherlin, tadinya. Namun, semenjak ku berpindah dimensi hanya karena suatu insiden kecil...