Ini adalah sebuah cerita, dari sudut pandang seungmin.
Terpatri indah kepingan ingatan sebuah kisah tentang pertama kali aku jatuh hati. Suasananya bising, sama seperti kebanyakan pesta biasanya. Tapi mataku tak lepas dari suatu pahatan indah yang berdiri tidak jauh dari tempatku. Wajahnya dingin, namun rahang tegas itu pula yang membuatku tertarik. Lucu. Aku bahkan tidak kenal dia, tapi daya tariknya berlipat kali membuat aku tertarik dari pada segelas alkohol yang aku genggam. Pening bukan main ketika netra itu bersinggungan dengan milikku sendiri.
Matanya tajam, alisnya terangkat satu. Aku tersenyum sebagai balasan, tidak mengira bahwa dia akan berjalan ke arahku. Netraku tidak lepas dari wajah itu. Peduli setan jika dia sadar bahwa aku jatuh cinta. Tapi memang wajahnya sempurna, aku tidak pernah tahu bahwa tuhan benar benar punya makhluk kesayangan.
"Lo keliatan ngga menikmati pestanya." binar di matanya agak redup ketika ia mengatakan satu kalimat pertanyaan itu. Memang. Memang aku tidak menikmati pesta ini. Astaga, siapa yang bisa menikmati pesta ini jika ada seorang keturunan dewa sedang menatap telak ke matamu?
"Emang, lo juga." Kataku akhirnya memilih mengalihkan pandangan darinya. Kekehan kecilnya mengalun halus ke telinga, memberikan gelitik kecil yang sampai pada perutku, membuncah hingga aku sendiri sadar akan panas yang berada di pipi. Jantungku berdebar tidak keruan hanya karena satu kekehan darinya.
Tangannya merambat turun menggenggan tanganku yang bebas, menariknya pelan. Tanpa ragu aku mengikutinya ke lantai dansa. Semua kebisingan di sekitar seakan perlahan mengecil dan membisu ketika dengan cepat ia mengganti rokok yang dia apit di mulutnya dengan bibirku.
Kecupannya tidak lama, kurang ajar. Maka dari itu aku segera mengalungkan lenganku di lehernya, menekan sedikit tengkuknya ketika aku kembali menyatukan bibirnya dengan milikku sendiri.
Bahkan tanpa kita sadari kaki kaki ini berjalan perlahan menjauhi kerumunan bising dan memilih untuk melihat indahnya langit malam itu di taman belakang bangunan kuno milik sahabat karibku itu.
Menghabisakan beberapa menit dalam kehening sembari aku dan dia mendudukan diri di rumput hijau nan segar, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari nya. Mungkin perasaanku saja tapi dia memang terlihat agak, coret- sangat susah digapai.
"Bulan." Satu kata itu keluar dari mulutnya. Sangat lembut, hampir tidak terdengar. Tangannya menunjuk ke atas, ke arah bulan sabit yang agak redup tertutupi oleh awan. "Kenapa sama bulan?"
Pria yang belum aku ketahui namanya itu hanya memberikan senyum kecil penuh arti, "Rambut abu abu lo kalau kena sinar bulan bagus. Jadi, gua kasih lo nama panggilan, bulan." Aku kembali memperhatikan figur wjahnya dari samping. Ganteng, batinku.
"Kalau gitu gua panggil lo elang,"
"Karena?"
"Karena tatapan lo."
"Kayak elang?"
"Kayak mau mangsa orang."
Dia tertawa, renyah. Memberikanku secercah binar paling jernih di dalam matanya. Sejak saat itu, aku selalu bertemu dengannya di dalam bangunan kuno ala eropa jaman dulu itu. Aku heran kenapa ia selalu berada di situ, tapi di saat yang bersamaan ada perasaan membuncah ketika aku tahu dia akan ada di sana.
Terkadang kita menghabiskan waktu berkeliling di dalam bangunan kuno itu, aku yakin Felix tidak begitu peduli tentang itu. Kita tidak pernah bertukar nama dan bahkan kontak. Aku hanya memanggilnya elang dan ia tidak pernah bosan menyebutku sebagai bulan. Tidak ada benang apapun yang tersambung di antara aku dan dia, kami hanya bersinggungan di sebuah pesta yang diselenggarakan di bangunan kuno milik keluarga Felix. Sialnya, aku menyadari eksistensinya. Kasar, tapi manis. Semanis blueberry yang selalu dia petik untukku, "Biar lo cepet gemuk." adalah kalimat favoritnya. Aku selalu menyesali pertemuan di antara kita, karena meski aku jatuh cinta kita tidak pernah jatuh berdua.
Baginya, aku hanyalah orang asing yang tahu banyak rahasia. Tapi bagiku, dia adalah dunia.
Namun dimana ada dunia, aku percaya bahwa kiamat itu ada. Seperti tepat saat tidak lagi kucium bau tubuhnya di seluruh sudut bangunan kuno nomor 12 yang merengkuh hangat setiap detik dari cerita tentang kita.
"Yah, mungkin bukan jodoh."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.