ೃ༄⸙͎ lima

2.4K 470 207
                                    

Degup jantung beradu bersama derap kaki yang memburu pada lantai kayu. Mencipta sebuah harmoni nada yang syahdu, bermain indah dengan berisik burung gereja yang terbang riuh-rendah.

Ketukan bambu menjadi pertanda datangnya diri dihadapan pintu kayu usang. Diliriknya sejenak keadaan. Untuk kemudian bergegas masuk sebelum kedatangan orang lain merusak suasana.

"Eh--!?"

Manik keduanya bersitatap tanpa sengaja. Jantung yang awalnya sudah berdentum tak teratur, kini semakin ricuh dibuatnya.

"Utahime sensei?" panggil sang gadis yang tak lain merupakan salah satu murid didiknya.

"A-a- [Name] chan--" Utahime tersenyum kikuk sebagai jawaban.

"Ada yang tertinggal sensei?"

"E-euhm ya,, ku rasa hajatku belum selesai." dusta Utahime.

Mendegar itu, sang gadis dengan polosnya mengangguk patuh. Percaya. Lantas menyingkir segera dari depan pintu, untuk kemudian mengucap kata pisah sebelum Utahime melesat masuk ke dalam bilik toilet.

Di dalam sana, Utahime nampak kalap mencari barang yang terjatuh dari kantongnya. Tak luput mengecek setiap sudut, yang bahkan mau dilihat sebanyak kali pun tetap nihil yang ia dapati.

Banyak mencari dan lelah, Utahime akhirnya pasrah di tengah kepanikan.

Menyender sejenak pada pintu kayu, selagi dirinya memaksa sang otak memberi beberapa ide cemerlang untuknya. Sekelibat warna test pack yang selaras dengan kloset menjadi titik terang. Membelalakkan mata. Sang wanita buru-buru saja menjongkok, mengintip lubang kloset putih yang nampak bersih seperti biasa.

Dan benar saja.

Secuil barang berbentuk pipih mencuat dari lubang kloset. Sepintas nampak sama. Yang membedakan hanyalah garis kemerah mudaan yang terbentuk kala benda tersebut terkena hajat seorang wanita.

Utahime terpaku kemudian.

Lantas diri bergegas merogoh kantong tempat benda sejenis itu di tempatkan. Menariknya satu. Yang tak lain telah di cobanya sebelum ini.

Membandingkannya.

Lantas berucap dengan getar nada yang tak dibuat-buat. "D-d-dua garis??"

⚜️

Gerimis membasuh halus dataran penuh rerumputan. Memancing irama berpadu degan gesek dedaunan. Selagi semerbak aroma tanah mengedar pada setiap inci indera.

Begitu nyaman.

Terlebih membuai diri yang tengah ditatap oleh manik secerah cakrawala penghujung Agustus.

"Anda tidak mencintaiku bukan?"

Lirih ucap sang wanita. Yang tengah memangku surai salju pada pahanya, selagi irama jemari mengikuti desir angin di sekitar, mengusapnya, lembut merengkuhnya dengan rasa nyaman.

Tersenyum menatap.

Menabur percik hangat dalam dada.

"Lantas apa alasannya?"

Manik langit membelalak seketika. Kala diri menyadari, telah dihadiahi tamparan keras dari sang wanita.

Begitu emosional. Namun tak sedikit pun ketara amarah dari mimik nya.

"[Name]??" manik biru menatap sayu ke arah wanitanya pergi. Menjerit, "Jangan!! Tolong jangan lakukan ini!! Kembalilah!!"

Sedetik sebelum bayangnya benar-benar pergi, pada pelupuk mata langit terlihat sesosok lelaki bersurai legam tengah mengulurkan tangan pada sang gadis pujaan. Sambil tersenyum simpul. Seakan menjemput kepulangan sang gadis pada hatinya.

"Jangan--- jangan pergi [Name]."

"Sensei-- Gojo Sensei--" tepukan kecil menderu pada salah satu sisi pipi. Menangkup paksa nyawanya. Begitu merasa diri seorang pemuda tengah terhimpit di sampingnya. Tentu saja ia lekas menjauh. Namun naas. Fushiguro sudah nampak mengenaskan terpepet bangku dan tubuh besarnya.

"Kau masih hidup Megumi?" Gojo bertanya prihatin.

"Tidak, jika anda terus terlelap di posisi tadi sensei."

Humor tersenggol penuh oleh kata sang pemuda. Memancing tawa. Yang ditahan selagi jemari membenarkan posisi kain hitam di mata.

Senyap kini mendominasi percakapan. Tak ada yang berinisiatif membuka, sekadar bertanya atau apalah. Diri seakan begitu malas untuk mengucap kata. Membiarkan begitu saja gemuruh roda kereta menjadi latar suasana.

Hingga akhirnya,

"Megumi. Aku mau bertanya boleh?"

Pemuda bermarga Fushiguro itu lantas menoleh, mengernyit dalam senyap, mempertanyakan apa perihal sensei nya bertanya dahulu sebelum berkata. Tidak sepertinya saja.

"Boleh saja."

Surai salju disisir olehnya sejenak. Membuat jeda, untuk kemudian berucap dalam geram nada rendah.

"Kalau kau bertemu [Name] lagi, kalimat apa yang akan kau ucapkan padanya pertama kali?"

Manik samudra gelap membelalak dalam senyap. Lantas menoleh cepat, pertanda diri tak menyangka gurunya sudah mengetahui tentang hubungan mereka.

"Sensei kau tau?"

"Tentu. Aku gurumu, Megumi."

Fushiguro merunduk sendu sebagai jawaban kata. Menautkan jari. Selagi diri merutuki banyak hal, yang memungkinkan bocornya berita ini hingga berhasil menyentuh telinga sang guru.

"Aku tau sendiri Megumi. Kau tidak perlu berpikir sejauh itu."

"Lantas anda tidak marah, sensei?

Kini surai legam yang diusap lembut olehnya. Membalas tanya dengan tanya, "Untuk apa?"

Pemuda itu tersenyum simpul. Merasa lega meski jantung terus bergemuruh hebat. Meredupkan sorot lautnya, Fushiguro memilih sendiri kemana manik samudra nya memandang. Tak ke arah gurunya. Melainkan ke cakrawala yang elok terbias mentari pagi.

Cantik.

Secantik gadisnya.

"Kan ku katakan, 'aku mencintaimu'
sebanyak mulutku mampu berucap."

✧ ೃ༄*ੈ✩

Aku mau ngebut tahun ini, jadi senin chapter baru akan aku publish lagi!

27 December 2020
©agathis_

Alexithy ✿ Gojo Satoru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang