ೃ༄⸙͎ delapan

1.8K 327 46
                                    

September kala itu.

Surai legam melambai ikuti alunan sarayu. Dalam diam merekah kurva, pula sibuk mencuri pandang. Ke arah gadisnya yang nampak manis dengan pipi merona. Malu agaknya. Terbilang ini kali pertama mereka menghabiskan waktu berdua. Tak ada kalimat yang terlontar dari masing-masing insan. Sama diamnya, pandangi punggung sang adam dalam semu, mengusik pilu. Begitu debarkan jantung. Dengan rasa yang sungguh sukar diurai labium.

Jemari agaknya betah menaut, ulah sang adam pemilik netra laksana laut. Yang tak ingin gadisnya jauh dari raga, tak ikhlas diusik barang dengan hembusan udara. Menjadikan mendung langit malam saksi atas cinta, dari sepasang insan yang dimabuk asmaraloka.

"Megumi."

Senyap disela, tatkala sang gadis putuskan memanggil nama sang pemuda. Lekas mengundang tolehan kepala, dari insan yang tak henti labuhkan pandang atas indah parasnya. Bertanya.

"Kenapa?"

[Name] malah bergeming. Mendadak kelu. Menguap entah kemana kata yang seharusnya terucap. Segan. Meski tak enggan. Terlebih, mungkin akan terasa tabu kala didengar. Lantas untuk kesekian kali ikhlaskan senyap hanyut begitu saja dalam percakapan. Mengundang tanya, ada apa dengan gadisnya?

Manik samudera menyincing, seakan mengerti. "Ada yang ketinggalan?"

Dan gadis itu menggangguk, membenarkan.

"Apa? Odol? Sabun? Obat nyamuk? Nanti berdua sama aku kalau perlu."

Fushiguro berbalik, niat hati melenggang pergi namun terurung. Tatkala taut jemari sang gadis yang masih bergeming menarik raga kembali, menahan tilas, mencipta tanya untuk kesekian kali. Ada apa lagi?

"Aku lupa beli pembalut, Megumi."

"Eh?"

Netra laut terkesiap. Menunduk. "Kalau itu aku ga bisa bagi berdua."

Anak dara lekas mengulur tangan. Memaksa sang adam mengambil alih kantung belanjaan, lantas dengan tergesa melenggang, pergi. Mendapati itu, tentu saja Fushiguro menyeru dalam rengkuhan syham.

"Hey! Mau hujan! Senggaknya bawa dulu payungmu!"

Untai kata penuhi relung nabastala. Menggema. Namun sang gadis agaknya apatis akan peringatan. Terus berlari membelah rimbun dedaunan. Membawa gelisah. Kala netra samudera bersitobrok dengan kelabu langit malam.

Sebab, firasat tak pernah salah.

Jemari lekas merogoh saku. Menarik benda pipih selagi mengetik kontak yang dicari. Menjejal harap, mungkin insan tujuan bisa sedikit melebur gelisah nya. Menyapa lewat kata, berbalas pesan lewat maya.

Sungguh tak pernah ia sangka.

Dari sanalah semua ini bermula.

Selepas puan dengan nayanika putuskan menerjang buah payoda, yang menggulung indurasmi kala kelabu dalam teduh sembilu langit memangku. Hadirnya seakan mencipta harmoni sendu, kala ketuk ranting kayu menjelma menjadi tempo lagu, menggebu di antara saban padika syahdu. Lantas bersama petrikor melabuh ikuti sarayu. Menyeruak, panggil anak dara kembali dengan pilu.

Gadisku, sungguh tak ingin ku lepas taut jemari kita saat itu. Sungguh tak ikhlas ku biarkan tilas tapak menjemput sengsara mu.

Kendati semua telah lalu.

Hari ini,

Pagi, pukul sepuluh.

Tatkala ia tiba di salah satu teras stasiun, dua anjing shikigami dengan ganas turun menyerbu. Memukul mundur pemilik atensi biru. Kendati sedetik selepas manik laut berkedip, satu dari keduanya telah tumbang dengan cekikan yang memutus penuh saluran kerongkongan.

Netra samudera tak henti pandangi sosok adam.

Yang kini bergeming meniti tampias hujan, selepas dua anjing ciptaan terkapar pada tanah basah.

Manik langit berdalih, tertimpuk akan puluhan mobil yang terparkir rapi di bawah amukan badai. Menghalangi. Pula mencuri ingin. Lantas tanpa pikir panjang putuskan mengambil langkah cepat, berlari, selagi melempar dua mobil yang terjangkau oleh jemari.

Memutus pandang.

Pula mengusik perhatian.

Gojo Satoru melesat, menerjang pemuda bermanik samudera tanpa gentar. Namun sialnya, insan di hadapan merencanakan hal yang sama. Balas menerjang, dengan shikigami nue yang mengepak, mengusik rinai. Menarik pula Satoru yang lengah. Lantas membanting sekuat tenaga pada rimbun pohon di tepian stasiun.

Dentum membelah guntur.

Menyisa patahan dahan yang menahan gerak sang atensi langit.

Insan bersurai legam agaknya tak ingin jeda merangsek dalam pertikaian. Putuskan melompat turun dari atap stasiun, selagi menarik belati dari salah satu shikigami.

"Jangan kau pikir aku sedang bercanda, Gojo Sensei."

Sirat benci terpampang jelas dalam gurat manik samudera. Menyala. Pada rengkuh rinai yang mengguyur rata kota. Melahap iba. Meski tau insan di hadapan pula makhluk bernyawa.

Fushiguro dalam kondisi lebih dari siap.

Maksud hati siap untuk pertumpahan darah percuma.

✧ ೃ༄*ੈ✩

Sudah aku revisi ya<3 sebelumnya Terima kasih banyak sudah mau menunggu

:( <3

22 Agustus 2021
©agathis_

Alexithy ✿ Gojo Satoru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang