Dafa menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, setelah seharian membantu para karyawan di restoran miliknya.
Sudah satu bulan Dafa menghabiskan harinya di restoran, alih-alih main ke rumah Rena. Pasalnya, satu bulan yang lalu Rena memintanya untuk menjaga jarak.
Gabriel cemburu, katanya.
Sudah berkali-kali Dafa mengingatkan Rena, kalau Gabriel bukan laki-laki yang baik. Tapi Rena tak pernah percaya. Bahkan Aldo juga berusaha menyadarkan Rena, namun nihil. Begitu juga Irhan yang mengomeli Rena karena terlalu mengikuti omongan Gabriel. Kata Irhan, Rena itu goblok campur bego.
Kecewa? Tentu. Seumur-umur, baru kali ini Dafa jauh dari Rena. Sejak mereka berteman dua belas tahun yang lalu, mereka selalu menempel bak perangko. Di mana ada Rena, di situ ada Dafa.
Bagi Dafa, Rena adalah segalanya. Rena yang membantunya bangun dari keterpurukan lima tahun yang lalu, saat orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Dua tahun pertama, Dafa tinggal bersama sang ayah. Namun setelah itu-- saat ayahnya memutuskan untuk menikah lagi, Dafa memilih tinggal di apartemen, sendirian.
Rena juga membantunya membangun restoran ini. Restoran yang ia bangun dari tabungannya. Dari dulu, Dafa hobi menabung. Laki-laki itu selalu ingin punya restoran sendiri. Awalnya ia hanya mampu menyewa satu ruko, namun karena kegigihan Dafa, ia berhasil menyewa dua ruko di kanan dan kirinya. Sekarang, Dafa sedang menabung untuk membeli tanah untuk dibangun restoran baru nanti.
Dafa menghela napas pelan. Terjebak friendzone memang menyedihkan. Rena terlalu baik untuk Gabriel yang brengsek. Ia mungkin juga belum sempurna, tapi setidaknya, cintanya tulus untuk Rena. Entah apa yang bisa membuat Rena sadar nantinya. Dafa harap, Rena tidak down.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Besok ia masih harus bersekolah. Dafa mengambil kunci motornya, lalu berjalan keluar dari ruang kantor untuk pulang.
***
El❤️
Sayang, aku nggak bisa jemput kamu. Naik ojol aja ya. Hati-hati. I love you."What?! Bercanda nih orang?!" Rena melotot memandangi ponselnya. Ia membaca pesan yang dikirimkan Gabriel sekali lagi.
Rena mendengus. Ia langsung menghubungi Gabriel. Sepuluh detik kemudian, Gabriel menjawab.
"Halo?"
"Bercanda kamu, El?! Aku udah nunggu sejam di sini!"
"Maaf, aku ada urusan," balas Gabriel. Nadanya datar, seperti biasa. Seperti tak ada penyesalan sama sekali.
"Kasih tau aku daritadi, kek! Jadi aku nggak harus berdiri di pinggir jalan kayak orang idiot gini!" semprot Rena. "Ini bukan pertama kalinya kamu begini. Ngeselin tau nggak!"
"Nggak usah lebay, Rena. Udah, aku lagi males debat sama kamu. Aku tutup."
"El, tu--"
TUTTT
"Beneran dimatiin?" gumam Rena shock. Ia melihat layar ponselnya. Gabriel benar-benar menutup telepon secara sepihak.
Beberapa saat kemudian, Rena tersadar. Ia segera memesan ojol.
Ingatkan Rena untuk menyemprot Gabriel lagi besok.
***
"Ren, Dafa kok jadi jarang ke rumah, sih? Bunda udah lama nggak liat dia."
Tangan Rena yang sibuk mencincang bawang putih, langsung terhenti.
"Lagi break kita Bun," balasnya.
"Break? Bukannya itu buat orang pacaran, ya?" tanya Alia bingung.
"Gitu deh," jawab Rena seadanya.
"Kalian ada masalah, ya?" tanya Alia. Ia menoleh ke arah Rena sekilas, lalu kembali mengulek sambal.
Rena tak langsung menjawab. Bayang-bayang foto yang ditunjukkan oleh Dafa, ditambah ocehan Irhan dan Aldo, membuat Rena kembali bimbang. Padahal ia sudah tak berniat memikirkan hal itu lagi.
"Kalo nggak siap cerita juga nggak papa, Bunda nggak maksa. Pesan Bunda, kalau ada masalah, ya diselesaiin, jangan diem-dieman. Kamu sama Dafa itu sahabatan bukan satu dua tahun. Dari kalian masih pake seragam putih merah juga udah bareng."
Rena hanya diam. Tangannya kembali sibuk mencincang bawang putih, lalu lanjut mengiris bawang merah. Tak lama, Rena bersuara.
"Bun, Rena mau cerita. Bunda dengerin sampe habis, ya."
***
Rena merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar. Nasihat Bunda tadi terus terngiang di kepala Rena.
"Kamu nggak seharusnya tutup telinga gitu, Ren. Yang ngomong bukan cuma Dafa, tapi Irhan sama Aldo juga, kan? Jujur, Bunda jarang liat kamu kumpul lagi sama temen-temen sejak pacaran sama Gabriel. Kamu kayak membatasi diri. Kamu kenal Dafa lebih lama dibandingkan kamu kenal Gabriel. Selama ini apa Dafa pernah bohong sama kamu?"
"Mungkin Dafa bisa aja salah liat. Tapi melihat kamu jauh dari Dafa dan yang lainnya gini, Bunda kok kurang sreg. Bunda jarang liat kamu pergi futsal lagi, atau nongkrong di luar. Bunda juga sering denger kamu nangis di kamar. Bunda cuma nggak mau tanya dulu aja, nunggu kamu yang cerita."
Rena menelan ludahnya susah payah. Selama ini Bunda tahu, kalau Rena sering menangis diam-diam?
"Terus, menurut Bunda, Rena harus apa?" tanya Rena. Suaranya tercekat.
"Buktiin aja. Pergi ke klub punya temen kamu itu, kamu liat sendiri," ucap Bunda santai, membuat Rena melotot kaget.
"Ini Bunda baru aja ngizinin Rena ke klub, nih?"
"Iya. Tapi sama Ayah!" Alia menekankan tiga kata terakhir.
Rena mengatupkan bibirnya yang setengah terbuka.
"Rena pikir-pikir lagi deh, Bun."
Rena membuang napas gusar. Foto itu, gadis yang ada di rumah Gabriel, sifat Gabriel yang mulai berubah, kalau semuanya di tarik garis, memang sangat nyambung.
"Percaya, atau nggak percaya?" monolog Rena.
"Nggak tau, ah! Bobok aja, pikir lagi besok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DAFA'S PRIORITY ✓
Short Story[SHORT STORY] Tentang Dafa yang selalu memprioritaskan Rena dalam hidupnya, bahkan melebihi dirinya sendiri.