Seperti biasa, pukul tujuh kurang lima belas menit, sebuah motor hitam seharga hampir seratus juta terparkir gagah di depan rumah Rena. Beberapa ibu-ibu yang baru saja pulang berbelanja, sesekali melirik kagum pada sang pengendara. Bahkan ada dari mereka yang sengaja menyesuaikan jam belanja mereka dengan jam kedatangan si pengendara motor hitam.
Sang pengendara turun dan melepaskan helmnya, membuat pekikan kagum terdengar. Sesekali sang pengendara tersenyum ramah pada ibu-ibu yang lewat. Tanpa ia sadari, para ibu-ibu itu hampir pingsan dibuatnya.
"Pagi, Bunda."
Seorang wanita empat puluhan yang sedang asyik memasak, menoleh. "Eh, Dafa. Sini, duduk! Sarapan dulu kita."
Dafa— si pengendara motor hitam yang selalu membuat sekumpulan ibu-ibu hampir pingsan karena senyumannya yang secerah mentari pagi. Ia memilih untuk pergi ke dapur alih-alih duduk di meja makan, membantu Alia— Bunda Rena, memindahkan makanan ke meja makan.
"Sini Bun, Dafa bantuin."
Setelah semua makan tersusun di meja, barulah Dafa dan Alia duduk. Sesekali Dafa celingukan, mencari keberadaan seseorang yang ditunggunya.
"Rena belum turun, Bun?" tanya Dafa. Alia menggeleng. "Biasa tuh anak. Liat aja. Bentar lagi juga klontangan."
Benar saja, baru Alia tutup mulut. Suara gedebug terdengar dari lantai dua.
"Aaauw!!"
Mendengar pekikan Rena, Dafa terkekeh, sedangkan Alia berdecak sambil geleng-geleng kepala.
"Anak itu. Udah besar masih aja klontangan," keluh Alia. Tak lama, Rena— gadis berkuncir kuda yang sedari tadi ditunggu Dafa, menunjukkan batang hidungnya.
"Pagi, Bunda. Pagi, Dafa," sapa Rena. Gadis itu mencium pipi bundanya, lalu duduk di samping Dafa.
"Ayah mana, Bun?" tanya Rena.
"Udah berangkat dari pagi. Mau ngurus sesuatu dulu di kantor katanya." Rena manggut-manggut, mengerti. Gadis itu memindahkan nasi goreng ke piringnya, juga ke piring Dafa.
"Lagi, nggak?"
"Cukup. Lo aja tambah lagi. Baru dikit itu," ucap Dafa. Rena menggeleng.
"Lagi diet."
Mendengar itu, Dafa melotot. "Apa lagi yang mau dikurusin? Nanti sakit, Na."
Rena mengerucutkan bibirnya sebal. "Perut gue makin buncit. Gue naik dua kilo, tau. Insecure gue tuh."
Dafa berdecak. "Asal jangan sakit, ya!"
Senyum Rena mengembang karena Dafa tak mendebatnya lagi. "Yoi, zheyenk."
Alia yang sedari tadi hanya dianggap patung oleh dua remaja beda gender itu, hanya bisa menggeleng.
***
Pukul setengah delapan, motor Dafa sudah berada di lapangan parkir SMA Mentari. Rena turun dari motor, melepas helmnya, lalu menyerahkannya pada Dafa.
"Daf, rambut gue berantakan, nggak?" tanya Rena, merapikan kunciran sambil sesekali menyisir anak-anak rambutnya. Dafa mengulurkan tangan, merapikan anak-anak rambut yang mengganggu wajah cantik Rena.
"Udah, cantik."
Lagi-lagi, Rena tersenyum. "Untung gue nggak baperan kalo sama lo. Mulut lo tuh, bahaya!"
Dafa terkekeh. "Baper juga nggak papa. Asal sama gue aja bapernya, jangan sama yang lain."
Rena menggeplak lengan Dafa pelan. "Nggak bisa. Coba kalo Kak Gabriel. Bukan cuma baper doang, gue bakal langsung pingsan di tempat kalo dia yang gombalin!"
Dafa tersenyum, getir. "Dasar lo. Udah, yuk."
Dafa dan Rena. Dua remaja kelas sebelas di SMA Mentari yang cukup populer. Kata orang-orang sih, mereka tuh friendship goals. Bahkan, banyak yang mendukung mereka untuk jadian. Dafa sih, mau-mau saja. Tapi Rena tidak.
Mereka bahkan punya hobi yang sama. Futsal. Ya, Rena adalah gadis tomboy nan sporty yang lebih suka bermain futsal di lapangan, daripada shopping di mal atau nongkrong cantik di cafe sambil bergosip. Tak heran, teman Rena lebih banyak laki-laki daripada perempuan.
Rena dan Dafa berada di kelas yang sama, XI IPS 4. Sayangnya, mereka tak sebangku. Wali kelas mereka sengaja memisahkan dua manusia itu, karena kalau sudah digabung, maka kelas tidak akan pernah tenang.
"Pagi, Rum," sapa Rena pada Arumi, teman sebangkunya. Arumi— gadis berkacamata tebal yang merupakan juara satu paralel, dan jarang berbicara. Bahkan sekarang, ia mengabaikan sapaan Rena. Untung saja Rena tidak sakit hati. Sudah biasa juga ia diabaikan Arumi. Wali kelasnya memang sengaja menempatkan Rena dengan Arumi, dengan harapan Rena bisa ketularan diam, pintar, dan rajin seperti teman sebangkunya. Namun sudah hampir satu semester berjalan, tidak ada tanda-tanda pertobatan juga dari Rena.
Berbeda dengan Dafa, laki-laki itu sedikit lebih beruntung. Ia ditempatkan bersama Arsen, anak paling pintar kedua di kelas. Catat, hanya di kelas. Bukan paralel seperti Arumi. Arsen sedikit lebih ramah dan lebih banyak bicara daripada Arumi.
"Sen, udah kerja PR Geo, belum?" tanya Dafa. Arsen mengangguk, lalu mengambil buku catatan Geografinya, dan diserahkan pada Dafa. Senyum Dafa langsung merekah. Dengan cepat, ia menyalin jawaban. Nanti istirahat, PR-nya akan ia berikan pada Rena, karena ia tahu, Arumi si jenius bin pelit itu tak akan membagikan hasil kerjanya.
Hai!
Aku buat cerita baru. Pinginnya sih dibuat cerita pendek, tapi nggak tau kedepannya bakal gimana.Cast-nya kali ini dari artis Thailand. Aku nggak pernah nonton drama Thailand sih, tapi kok castnya cocok gitu. Jadi jangan tanya nama asli ya, aku nggak tau soalnya.
Anyway, enjoy!🥰💙
KAMU SEDANG MEMBACA
DAFA'S PRIORITY ✓
Kort verhaal[SHORT STORY] Tentang Dafa yang selalu memprioritaskan Rena dalam hidupnya, bahkan melebihi dirinya sendiri.