Rena memutuskan untuk bicara dengan Gabriel.
Saat ini, Rena sedang melangkahkan kakinya menuju kelas Gabriel. Bodo amat dengan tatapan aneh dari kakak kelasnya. Pasalnya, di SMA Mentari, adik kelas tak pernah mau memasuki kawasan kakak kelasnya. Tapi Rena tak peduli.
Pacarnya kan anak yang punya sekolah.
"Kak Nino, Gabriel ada?" tanya Rena pada Nino yang baru saja hendak keluar kelas.
"Ada tuh, masuk aja," jawab Nino. Ia pergi setelah Rena mengucapkan terima kasih.
Tanpa berpikir dua kali, Rena masuk ke dalam kelas Gabriel. Ia tak peduli dengan tatapan mencemooh dari teman-teman sekelas Gabriel. Matanya hanya fokus pada laki-laki yang sedang mengobrol dengan teman-temannya itu.
"El, aku mau bicara."
Sontak, gerombolan laki-laki itu menoleh, termasuk Gabriel. Laki-laki itu diam sejenak, lalu mengangguk. Ia meraih tangan Rena dan menariknya keluar kelas, membuat teman-temannya bersorak riuh.
Gabriel dan Rena melangkah menuju rooftop sekolah yang sepi, tempat yang dirasa pas untuk bicara empat mata.
"Kenapa?" tanya Gabriel.
Rena menarik napasnya dalam, sebelum berbicara. Matanya menatap mata Gabriel lekat-lekat.
"Aku ngerasa kamu berubah," kata Rena jujur. "Kenapa?"
Alis kiri Gabriel terangkat, heran. "Maksud kamu?"
"Kamu jadi aneh. Kamu jadi suka batalin janji tiba-tiba. Ngilang tanpa kabar. Chat aku jarang kamu bales. Tiap aku hubungin kamu, kamu juga jarang angkat. Kamu ini kenapa?"
"Aku ngerasa nggak ada yang berubah," jawab Gabriel enteng, seolah dirinya tak berdosa. "Mungkin kamu lagi sensitif."
"Ya kali!" nada suara Rena meninggi. Ia sebal setengah mati mendengar respon Gabriel. "Kamu masih mau mempertahankan hubungan ini nggak, sih?! Kalo nggak, lebih baik kita putus!"
"Kamu ngomong apa sih, Rena?!" bentak Gabriel, membuat Rena terkesiap kaget. Ia merinding melihat wajah marah Gabriel.
Rena hanya diam. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin keluar, lagi. Setiap berhadapan dengan Gabriel, bawaannya ingin nangis terus. Apalagi kalau Gabriel sudah marah. Nyali sebesar matahari yang tadi Rena punya, sekarang menyusut jadi seukuran planet mikroba.
Melihat Rena hendak menangis, Gabriel berusaha meredam amarahnya. Ia menarik Rena ke dalam pelukannya, menenangkan gadis itu.
"Maaf," ucap Gabriel. Setelah itu, suasana kembali hening.
Setelah Rena berhasil mencegah air matanya, gadis itu melepaskan diri dari pelukan Gabriel. Jujur, pelukan Gabriel berhasil membuatnya nyaman. Kan, Rena jadi luluh lagi.
"Aku udah bikin kamu sedih, ya?" tanya Gabriel.
"Pikir aja sendiri!" balas Rena ketus, sembari membuang muka. Gengsi kalau kelihatan sudah luluh.
"Oke, kita bakal mulai dari awal lagi," ucap Gabriel. "Aku janji, aku bakal ngabarin kamu terus. Sebisa mungkin, aku jawab telepon kamu. Bales chat kamu. Aku bakal anter jemput kamu tiap hari kayak dulu. Gimana?"
"Nggak usah anter jemput juga nggak papa, kamu pacarku, bukan supirku," balas Rena.
"Tapi aku mau. Jadi aku bakal tetep lakuin itu."
Rena bergeming. Ia sudah leleh seperti es yang mencair. Bibirnya terus berkedut karena menahan senyum.
"Senyum aja, jangan di tahan," ucap Gabriel dengan nada yang kelewat lembut.
Sangat bukan Gabriel.
Detik selanjutnya, senyum Rena mengembang, begitu juga milik Gabriel. Ia memutuskan untuk kembali percaya.
Dan Rena harap, keputusannya benar.
***
"Balikan lo, Ren?" Aldo tiba-tiba datang dan duduk di atas meja Rena.
"Gue emang nggak putus, keles."
Aldo berdecak. "Parah lu, Ren. Ntar kalo ada apa-apa, jangan bundir, ya."
Rena berdiri, menjitak kepala Aldo keras. "Enak aja! Gue masih waras, kali. Udah ah, sana lo! Meja gue kotor kena bokong lo!"
"Hehehe. Tau aja gue belom cebok abis pup," balas Aldo, sebelum kabur menuju bangkunya.
Gabriel kembali seperti dulu. Laki-laki itu selalu meneleponnya setiap malam, mengucapkan good night tiap malam dan good morning tiap pagi, mengantar jemput Rena sekolah, mengajak Rena keluar setiap malam minggu. Setiap jam istirahat, mereka selalu makan berdua di kantin.
Mata Rena menangkap sosok Dafa yang baru saja masuk ke dalam kelas. Semakin hari, Dafa terlihat semakin diam. Mereka tak lagi banyak mengobrol sejak Rena meminta jarak.
Sebenarnya, alasan Rena menjauhi Dafa bukan hanya karena permintaan Gabriel. Rena tahu, Dafa menyukainya. Ia tak ingin Dafa sakit hati setiap melihat dirinya dan Gabriel. Rena ingin Dafa move on. Dan menurutnya, menjauh untuk beberapa saat adalah jalan yang tepat.
Benar, kan?
***
Rena dan Gabriel sedang berada di salah satu mall. Mereka sudah berencana menonton film terbaru di bioskop sejak minggu lalu.
"Sayang, aku ke toilet dulu," ucap Gabriel. Rena mengangguk. Masih ada lima belas menit sebelum pintu teater dibuka.
Rena asyik memainkan ponselnya, sebelum ia mendengar suara ponsel Gabriel. Laki-laki itu meninggalkannya di atas meja. Karena penasaran, Rena sedikit memajukan tubuhnya, melihat siapa yang menelepon.
My Baby Celia😘 is calling...
Tubuh Rena membeku. Ia ingat nama itu. Nama yang disebutkan Bibi Gabriel. Perempuan angkuh nan seksi yang datang ke rumah Gabriel saat laki-laki itu sakit.
Siapa Celia sebenarnya?
"Rena?"
Rena langsung memundurkan tubuhnya begitu mendengar suara Gabriel. Laki-laki itu mengernyit melihat Rena yang gelagapan.
"Kamu kenapa?"
"Nggak," jawab Rena. "Aku tadi ngambil churros kamu, hehehe," kilahnya.
"Oh," Gabriel mengelus puncak kepala Rena, lalu kembali duduk di tempatnya. Diam-diam, Rena melirik Gabriel yang sedang fokus dengan ponselnya. Ia bisa melihat wajah panik Gabriel untuk beberapa detik. Gadis itu memilih pura-pura fokus dengan sandwich miliknya.
"Rena, kamu ada ngeliat hape aku, nggak?" tanya Gabriel.
"Nggak," bohong Rena. "Emang kenapa?"
"Oh, nggak papa," jawab Gabriel. Ia terlihat begitu lega.
"Tadi geter sih, tapi aku nggak nyentuh," jawab Rena. "Dari siapa?"
"Dari Nino," balas Gabriel mantab, membuat Rena mengeratkan cengkraman pada ujung kausnya.
"Oh."
Tak ada lagi percakapan di antara Gabriel dan Rena. Gabriel sibuk dengan ponselnya, dan Rena yang sibuk dengan pikirannya.
Sebenarnya siapa Celia? Kenapa Gabriel harus berbohong?
1 part lagi udah end🥳
KAMU SEDANG MEMBACA
DAFA'S PRIORITY ✓
Conto[SHORT STORY] Tentang Dafa yang selalu memprioritaskan Rena dalam hidupnya, bahkan melebihi dirinya sendiri.