Chapter 4

482 83 1
                                        

Pemuda dengan pakaian khas berwarna ungu itu kini sedang menatap malas kawannya yang sedang mondar-mandir di depan teras. Beberapa kali Jiang Cheng sudah membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu tetapi pada akhirnya tidak jadi.

Wei Ying sendiri mengetuk-ngetukkan kakinya panik. Kadang-kadang ia berjongkok lalu menggambar sesuatu yang abstrak di atas tanah, sesekali bergulingan meratapi nasib, dan kembali mondar-mandir.

Jengah melihat Wei Ying seperti itu, Jiang Cheng tidak tahan lagi untuk melempar segelas air dingin di sebelahnya, menyiramnya tepat sasaran pada wajah tengil Wei Ying yang kini terlihat makin menyedihkan.

"Bro, aku benar-benar sedang tidak ingin berkelahi." Wei Ying membalas pasrah sambil mengelap kasar tetesan air yang membekas di wajahnya

"Kau masih memikirkan lukisan pornomu itu?"

Wei Ying hanya menjawab pertanyaan itu dengan gumaman. Ia kemudian mendudukkan dirinya di sebelah Jiang Cheng dan berujar, "Padahal seharusnya hari ini bisa kuberikan. Tapi lukisan itu … lukisan itu justru tertinggal, kurasa …."

"Kenapa tidak membuat ulang? Jangan bilang kau malas melakukannya," cibir Jiang Cheng.

"Kertasnya berbeda dan aku tidak punya cadangannya." Wei Ying mendesah keras dengan wajah cemberutnya.

"Kalau begitu mampirlah ke rumahnya. Minta lukisanmu baik-baik lalu pergi."

"Aku tidak berpikir akan semudah itu."

"Lalu kau mau apa?"

"Hm, aku akan ke rumahnya."

"Bedebah tengik ini …." Jiang Cheng memijat pangkal hidungnya, pusing akan kelabilan Wei Ying yang tak kunjung pudar.

Lima belas menit kemudian, Wei Ying sudah berada di depan tangga menuju kediaman Lan Wangji. Ia meremas tas yang membungkus peralatan lukisnya untuk meminimalisir perasaan ragu dan malunya.

Bagaimana kalau ternyata lukisan itu tidak berada di tangan Lan Wangji? Atau bagaimana ekspresi Lan Wangji saat ia meminta balik lukisannya?

"Um, permisi."

"Siapa?"

Wei Ying menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya sambil tertawa canggung. "Aku Wei Ying, kemarin Tuan Muda Lan Wangji membeli lukisanku, apa sekarang Tuan Muda bisa ditemui?"

Kedua penjaga yang berdiri di masing-masing sisi pintu saling berpandangan. Sejenak Wei Ying melihat ke atas, mengingat bahwa dua penjaga ini berbeda dari yang kemarin.

"Pertama, kau harus punya janji kalau ingin bertemu orang penting. Kedua, tidak. Tuan Muda Kedua baru saja keluar dengan Tuan Muda Pertama. Datanglah lain waktu." Usiran halus itu benar-benar membuat Wei Wuxian meringis.

"Lalu sekarang apa? Apa aku benar-benar mendatangi Earl Duxell dengan tangan kosong?" Wei Ying bermonolog pasrah. Sepanjang jalan, ia terus menendang kerikil yang hadir di setiap penglihatannya. Mencoba melampiaskan perasaan kesalnya pada diri sendiri, urakan dan ceroboh.

Setelah berjalan setengah jam, akhirnya Wei Wuxian sampai di depan gerbang kediaman Earl Duxell. "Ah, sial. Belum ada apa-apa aku sudah lelah saja."

"Wei Ying, akhirnya kau datang. Earl sudah menunggumu." 

"Oh, halo, Sir Clovis." Wei Ying melambaikan tangannya lemah ke arah orang yang menyapanya tadi.

"Hm? Kau tampak tidak bersemangat. Bayaranmu kurang?" Sir Clovis kemudian meletakkan pot bunga kecil di atas meja, ia lalu mendekati Wei Ying sambil merapikan lengan kemeja butler-nya yang ia gulung.

Ephemeral ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang