Chapter 10

821 66 7
                                    

Sepanjang disadarkan, tubuh Lan Wangji terus digoyangkan sesekali dipukul oleh Wei Ying. Dua tembakan yang dilancarkan Earl Duxell sebenarnya tidak begitu fatal, namun, kedua peluru itu tetap mengenai Lan Wangji.  Satu peluru bersarang dibahu kirinya sementara yang lain hanya sebatas menggores pipi kanannya.

Wei Ying terus berteriak menyadarkan Lan Wangji. Dia lalu menatap sinis Dokter Tristan yang sedang berjalan ke arahnya sambil memainkan pisaunya.

Ketika Dokter Tristan mengangkat kakinya untuk menendang Wei Ying, sebuah serangan mendadak langsung membuat Dokter Tristan oleng. Wei Ying sendiri pun sampai terjungkal ke belakang, tetapi dengan cepat ekspresi terkejutnya langsung berubah menjadi senang kalau Lan Wangji rupanya pura-pura tak sadarkan diri. Cara yang agak pengecut memang, namun, dalam pertarungan luar arena seperti ini, apapun bisa dijadikan bentuk serangan.

Lan Wangji membungkuk agar bisa menangkap pinggang Dokter Tristan, mencoba mendorongnya menjauhi Wei Ying. Serangan lanjutan dilancarkan dengan dia memutar tubuhnya sendiri dan menekuk tangan kanannya sehingga berhasil menyikut dagu Dokter Tristan.

Satu serangan itu lebih dari cukup untuk menumbangkan tubuh Dokter Tristan yang rupanya lebih rapuh jika dibandingkan dengan kekuatan Lan Wangji. Dokter Tristan hanya bisa merintih dan meracau dalam rasa sakitnya.

Di sisi lain, Jiang Yanli berusaha untuk menarik Jiang Cheng yang benar-benar berniat untuk membunuh Klaus.

"A-Cheng, berhentilah! A-Cheng!"

Tarikan Jiang Yanli dari belakang tak mempan untuk menjauhkan Jiang Cheng. Tanpa rasa takut, akhirnya Jiang Yanli berusaha menyadarkan Jiang Cheng dari depan.

Telapak halus milik Jiang Yanli mengelus pelan pipi Jiang Cheng, mengelap sisa darah yang menciprati pipi adiknya tanpa rasa jijik. Tangan lainnya kemudian mengangkat dagu Jiang Cheng untuk menatapnya. Perlahan, Jiang Cheng melunak.

Jiang Cheng langsung melemaskan kedua tangannya. Air mata sudah tergenang di pelupuk matanya. Tenggorokannya tercekat dan dia hanya bisa berkata tanpa suara. "Jiejie ...."

Sebuah pelukan hangat menyapa Jiang Cheng setelah bertahun-tahun tak merasakannya. Jiang Yanli mengelus puncak kepala Jiang Cheng sambil terus bergumam permintaan maaf.

"A-Cheng, bisakah kau menghentikan semuanya?" Jiang Cheng mengangguk, wajahnya masih disembunyikan pada ceruk leher kakaknya.

Klaus yang tadinya tercekik hingga di ambang kematian langsung menghirup napas rakus ketika Jiang Cheng melonggarkan cambuknya. Tubuhnya lemas karena kehilangan banyak darahdan oksigen. Dia hanya terus meracau dan mengumpat hingga Jiang Cheng meninju mukanya saat masih dipeluk Jiang Yanli.

"Bro Jiang! Bro Jiang! Kau tidak apa-apa?"

Jiang Cheng melepas pelukan dan membalikkan tubuhnya. Thomas dan anak-anak lain yang berhasil dihasutnya masih memberikan tatapan polos dan gembira. Hati Jiang Cheng tercubit sakit melihatnya. Bagaimana bisa dia tega mengorbankan anak-anak demi keegoisannya? Lihatlah, mereka bahkan masih sempat mengkhawatirkannya saat nyawa mereka sedang di ujung tanduk.

Pemuda itu bangkit dan menginjak selangkangan Klaus sebelum akhirnya melangkah gontai mendekati kandang. Dia membuka gembok dan rantai supaya anak-anak bisa keluar dengan bebas. Jiang Cheng menatap anak-anak dengan senyum yang dipaksakan. "Semuanya, maafkan aku. Jane, maafkan aku."

"Mhmm, kami tahu kau sebenarnya tidak mau melakukannya. Kau hanya berusaha untuk melindungi orang yang kau sayangi," balas Thomas sambil melihat Wei Ying yang kini sedang menahan pendarahan pada bahu Lan Wangji.

"Pak Tua di sana bersisik sekali!" Suara gemas Jane memecah suasana sendu di antara mereka. Mengundang perhatian anak-anak lain melihat Earl Duxell yang melempar pistolnya dan berteriak frustasi. Mereka tertawa lalu memeluk Jiang Cheng.

Ephemeral ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang