Chapter 2

694 77 5
                                        

Bunyi benturan kayu-kayu yang tak kenal ampun membuat Wei Ying berguling-guling risih di kasurnya. Tubuhnya menungging dan kepalanya dijepit menggunakan bantal, berusaha melindungi telinganya.

"Ughh ...."

Alisnya mengerut dan kepalanya semakin pusing mendengar kayu-kayu itu dijatuhkan dengan keras. Selimut kemudian ditendang dengan perasaan dongkol, bibirnya membentuk kurva ke bawah dan matanya menutup erat.

"Ahh, Jiang Cheng!"

Suara berisik seketika berhenti sejenak dan selanjutnya terdengar langkah ringan. Di sana, Jiang Cheng sudah berdiri berkacak pinggang dengan pandangan menghakimi.

Nyaris lima tahun tinggal bersama rupanya tak membuat sikap Jiang Cheng sedikit melunak padanya. "Cepat bangun, pemalas! Kayu-kayu itu menunggu belaianmu dari tadi."

Kemudian wajahnya dilempar secarik kain basah bekas keringat Jiang Cheng.

Masih dengan mata mengantuk, Wei Ying membuang kain itu dan menggaruk-garuk pipinya asal. Bibirnya mencebik sebal, suasana hatinya masih buruk sejak kemarin.

Selimut tak bersalah kembali ditendang, ia segera mengganti bajunya tanpa mau repot membereskan tempat tidur.

Silau matahari benar-benar menghujani tubuhnya saat ia baru berdiri di ambang pintu. Barisan giginya mengerat hingga hidungnya ikut mengerut, sedangkan salah satu tangannya melindungi matanya yang masih beradaptasi.

"Kenapa memotong kayunya harus di sini, sih?!" gumam Wei Ying masih tak terima.

Tidak hanya Wei Ying dan Jiang Cheng, sebagian besar anak-anak seumurannya bekerja untuk Earl Duxell, sang pengusaha kayu. Semua itu tentu dilakukan demi sekeping koin atau sepotong roti. Setiap minggu pagi, halaman rumah mereka akan dipenuhi banyak orang dan kayu-kayu yang siap dipotong. Alasannya? Tentu saja karena pekarangan rumah mereka yang luas.

"Siang, Brother Wei! Kali ini bagaimana Bro Jiang membangunkanmu?"

Gelak tawa mengikuti selepas kalimat ejekan itu keluar. Wei Ying mengambil kapak dan membalas, "Aku dibangunkan dengan air garam."

Hal itu mengundang tanda tanya dari semua yang mendengar kalimat jenaka Wei Ying. "Berhenti mengobrol dan cepatlah bekerja, sialan!"

Suara menggelegar Jiang Cheng benar-benar menginterupsi rasa senang mereka.

Di tempat yang lain, sepasang saudara berjalan beriringan di jembatan pelabuhan. Baju seputih awannya berkibas elegan mengundang perhatian banyak orang yang belum pernah melihatnya.

Salah satu dari mereka tersenyum, memandangi saudaranya dan tempat di sekitar mereka bergantian. "Menurutmu, bagaimana kehidupan kita nanti di sini, Wangji?"

"Berbeda."

Lan Xichen terkekeh mendengar jawaban adiknya, "Kita di sini untuk memperluas bisnis."

"Mn."

"Wajah-wajah di sini terlihat berbeda, mungkin kau bisa lebih cepat berteman."

"Tidak."

Jawaban mutlak itu membuat Lan Xichen menghembuskan napasnya pasrah. Mau di sini atau di Cina, adiknya tetap tak tertarik bersosialisasi.

"Bisnis tidak melulu soal strategi, kau tetap membutuhkan seorang kenalan." Lan Xichen kembali membujuk, setidaknya adiknya masih mau berkata 'iya' meski masih di mulut.

"Kalau begitu itu urusan kakak." Lan Wangji segera menyelesaikan percakapan sebelum akhirnya menaiki delman lebih dulu yang akan membawa mereka ke kediaman baru di sini.

Ephemeral ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang