"Bangun."
Suara datar disertai siraman air dingin langsung membuat Wei Ying terbangun dengan perasaan engap. Bibirnya bergetar sejenak karena menggigil dan kepalanya bergerak gusar. Dia kemudian memindai apa yang terjadi pada tubuhnya.
Wei Ying menghentak-hentakkan tubuhnya panik. Dia terikat di atas kursi sementara Lan Wangji masih tergeletak tidak sadarkan diri di depannya. Wei Ying mendesis dan menatap buas Klaus yang menutupi pandangan Wei Ying dari Lan Wangji.
"Kau mengenal Jiang Cheng?"
Klaus hanya tertawa sambil mengelus puncak kepala Wei Ying. "Kalau kau tidak bermacam-macam di tendaku, semua akan berjalan mulus seperti biasa."
"Apa kau mengancamku?! Atau kau yang mengancam Jiang Cheng?!"
Suara jatuh Wei Ying dengan kursinya membuat Klaus mendekatkan salah satu telinga pada pundaknya, merasa ngilu dan risih saat mendengarnya. "Tidak bisakah kau bersikap santai sedikit?" tanya Klaus memperbaiki posisi kursi dan menampar pipi Wei Ying.
"Kenapa ... nama ayahku bisa ada pada amplop itu?" desis Wei Ying masih tak mau menyerah.
Klaus menaikkan sebelah alisnya sambil terkekeh ringan. "Kau akan tahu setelah ayah datang. Kalau begitu, aku pergi dulu, dah ...."
Umpatan demi umpatan keluar dari mulut latah Wei Ying. Tangannya yang cedera semakin sakit gara-gara diikat sembarangan. Wei Ying mengedarkan pandangan dan hanya menemukan satu lilin yang berada di tengah-tengah dirinya dan Lan Wangji, selebihnya gelap. Penglihatannya tak bisa bermanfaat lagi jika sudah di luar jangkauan cahaya lilin.
Berkali-kali Wei Ying memanggil Lan Wangji hingga akhirnya membuahkan hasil. Lan Wangji langsung duduk dengan tubuh terhuyung. Dia menggelengkan kepalanya berulangkali, mencoba mengusir kunang-kunang yang bertamu di kepalanya.
"Lan Zhan, kau tidak apa-apa?"
Lan Wangji tidak langsung menjawab pertanyaan Wei Ying. Dia memaksakan diri untuk berdiri ketika menyadari lengannya terikat di belakang pinggang. "Di mana kita?"
"Klaus membawa kita ke sini. Ini salahku, seharusnya aku tidak membuka amplop itu. Karenanya, kau juga jadi kena imbas."
Lan Wangji menggeleng pelan atas jawaban Wei Ying. Dia membalas, "Kau melihat suatu hal penting yang tidak bisa kau lewatkan. Aku bisa mengerti."
Wei Ying mendesah pelan mendengar jawaban itu, merasa bersalah karena telah menyeret Lan Wangji ke sini. "Klaus bilang usaha Jiang Cheng sia-sia karena aku melakukan hal bodoh itu. Apa itu artinya Jiang Cheng sedang dibawah ancaman mereka?"
"Tidak ada yang tahu kecuali Jiang Cheng dan orang-orang yang telibat dengannya."
Wei Ying menggeram kasar sambil terus berdecak. "Lalu sekarang apa ...." Dia kemudian memperhatikan Lan Wangji yang kini kembali duduk bersila. Wajah pemuda dingin itu sedikit menunduk sambil memejamkan mata, sesekali kedua tangan yang berada di belakang tubuhnya saling mengusak satu sama lain.
"Apa kau sedang bermeditasi? Tali tambang ini tebal, tidak bisa lolos dengan mudah."
Tidak mendapat jawaban, Wei Ying mencibir sendiri dalam diam. Dia menatap wajah Lan Wangji yang kini sedang berfokus pada meditasinya hingga sesaat kemudian Wei Ying mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Suasana di sini kelewat sepi dan tenang. Tetapi samar-samar Wei Ying dapat mendengar suara gesekan, denting logam, dan rintihan yang berputar di telinganya. "Lan Zhan, kau dengar sesuatu?"
Derit pintu tiba-tiba berbunyi mengagetkan keduanya. Seseorang masuk ruangan dengan membawa satu lilin. Dia tampak mengendap-ngendap hingga akhirnya Wei Ying dapat melihat seluruh wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral ✓
FanfictionMerantau ke negeri orang untuk hidup, Wei Ying tak menyangka bertemu belahan jiwanya di sana. 1. Wangxian 2. Ga bisa bikin summary ▪︎Mó Dào Zǔ Shī © Mò Xiāng Tóng Xiù ▪︎Ephemeral © Rinniette ▪︎Cover © Phoenix Writer