7

180 26 0
                                    

warning : a little mature. kalau ada yang gak nyaman boleh menyesuaikan ya:)

Punggungku yang bersandar pada dinding lorong perlahan merosot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Punggungku yang bersandar pada dinding lorong perlahan merosot. Sepenuhnya kini aku duduk di lantai yang dingin. Ternyata berada di dalam gedung tidak membuat suhu menjadi hangat.

Kepalaku pening. Efek alkohol yang kuteguk banyak-banyak baru bereaksi. Untung saja ada Jimin yang mau menyeretku pulang.

Aku mengerjap, memperjelas pandanganku yang mulai memburam. Puluhan bayangan menjeplak bentuk pintu tetanggaku, terlalu banyak sampai aku tidak tahu mana pintu yang asli. Merasa bodoh, aku pun tertawa.

Oh! Jimin juga ada banyak!

Jimin yang ikut jongkok di depanku seakan memiliki kekuatan super untuk menduplikasi diri. Dia jadi ada banyak!

Tubuhku terguncang karena dia mengguncang pundakku dan mengucapkan sesuatu tentang pintu rumah dan menggendongku?

Entahlah.

Sepertinya beristirahat di lorong ini tidak begitu buruk. Dinginnya lantai menyambutku saat aku merebahkan diri sambil bersedekap. Aku pun memejamkan mata. Lorong ini begitu dingin dan sepi. Aku bisa beristirahat dengan tenang di sini.

"Seulgi, jangan!"

Aku mengibas asal tanganku, "Pergilah, aku mau tidur."

"Jangan di sini tapi."

Rajukan Jimin tak kuindahkan. Seharusnya ia ikut berbaring saja di sebelahku untuk membuktikan kalau lantai ini sudah sangat cocok jadi tempat istirahat.

Tubuhku terangkat saat Jimin menggendongku. Tangannya mengangkut di bagian belakang lutut dan punggungku.

Kehangatan dari jaket busa konyol miliknya membuatku menelusupkan wajah ke arahnya.

Jimin ini punya aromanya sendiri. Harum musk dengan sedikit lavender. Maskulin namun juga lembut di saat yang bersamaan. Tentu aku sudah hapal dengan aromanya. Setiap kali latihan, harum parfumnya selalu bisa mencuri perhatianku dan membuatku menebak bahan dari parfum itu.

"Maaf, aku harus masuk kamarmu," Jimin bergumam. Terdengar suara pintu yang terbuka dan sesaat kemudian aku sudah direbahkan diatas kasur.

Alih-alih melanjutkan tidurku, aku memilih untuk duduk bersandar pada kepala kasur. Begitu asik melihat Jimin yang mencari saklar lampu. Dalam kegelapan aku melihat siluetnya yang mencari saklar di belakang pintu. Cahaya lampu menerangi kamarku tak lama setelah itu. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas, berdiri di dekat pintu dengan jaket berbusa dan kupluk di kepalanya.

Senyum merekah yang selama ini kutahan di bibirku akhirnya tampak. Pundakku menggeliat tidak jelas seperti ulat. Hasrat ingin menggoda timbul. Bayangan kotor tentang apa yang bisa kulakukan dengan Jimin malam ini membuatku menggigit bibir dan terkekeh kecil.

Adagio | seulmin✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang