4

169 28 0
                                    

"Mau setengah matang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau setengah matang?"

Daging kecokelatan yang berada di bawah kekuasaan sumpit Jimin kuperhatikan sesaat. Asap mengepul di sekitaran daging itu, menghantarkan aroma terbakar nan menggugah perut. Di antara warna cokelat pada permukaan daging tipis itu, sejumput warna merah muda bersembunyi di antaranya.

"Aku mau matang."

Jimin mengonggokkan daging itu bersama irisan daging lainnya. Suara mendesis terdengar tatkala dia menaruh tambahan daging di atas alat bakar. Untung saja, tidak hanya mentraktir, dia memasak pesanan kami. Dia bahkan melarangku untuk membantunya meskipun memang aku tidak menawarkan bantuan dari awal.

Kehangatan dari kompor pembakar melelehkan hawa dingin yang sedari tadi mendekap erat. Cuaca benar-benar kacau di luar; angin musim dingin di malam hari dan ruas kota yang sepi makin menekankan jika salju akan segera turun. Bahkan di jalan, aku dan Jimin sempat berhenti di mini market untuk menghangatkan diri dan membeli secangkir minuman hangat.

Tapi kehangatan dari cairan maupun kompor yang menyalurkan api tak jua mampu melelehkan keheningan kami. Lapar dan kedinginan kurasa sudah cukup menjadi alasan untuk membungkam kami berdua, terutama Jimin. Selama perjalanan dia lebih diam. Syukurlah dia tidak banyak tanya karena pikiranku juga kalut saking kedinginan dan kelaparannya. Energi tak ada yang tersisa bahkan untuk mengomelinya dalam hati.

"Kamu sudah lebih hangat?" pertanyaan yang sama diajukan Jimin untuk ketiga kalinya.

Pertama, saat dipertengahan jalan. Kedua, setelah keluar dari mini market. Dan ketiga adalah sekarang, ketika kami duduk di rumah makan kecil di tengah pasar malam yang lenggang ditemani dengan desisan dan harum daging barbecue.

Ah, mengapa dia punya ide bakar-bakaran seperti ini sih. Padahal aku berharap bisa makan Tom Yum, atau bahkan ramen saja sudah cukup. Yang penting perutku hangat.

"Penghangat ruangannya kurasa tidak terlalu berpengaruh," aku justru menatap kosong penghangat ruangan yang dipatri di atas bagian kasir.

Tawa Jimin terdengar, bahkan sampai tubuhnya terhuyung ke sisi kanan saking gelinya tertawa.

Meskipun aku punya ketidaksukaan terhadap Jimin, tapi aku tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Melihat Jimin begitu bahagianya tertawa. Giginya yang rapih tampak bersama dengan bingkaian garis halus di sekitar bibirnya. Matanya menyipit hingga tak terlihat. Menawan namun masih terlihat sisi kekanakan yang polos.

"Apa yang lucu?" tanyaku sedatar mungkin yang membuatnya berhenti mencondongkan tubuhnya dan kembali membalikkan daging, "pemanasnya memang tidak berfungsi."

"Kamu terlalu jujur. Setidaknya berbicara baiklah, Bibi itu tadi sedang memperhatikan kita."

Aku pun melirik kearah kasir di mana seorang wanita tua dengan jaket busa selengan seharusnya berdiri. Kini wanita itu berdiri di bawah pemanas ruangan sambil memencet-mencet tombol dari remot.

Adagio | seulmin✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang