Matahari baru saja menunjukkan sinarnya ketika Sunan Prawata naik di atas pendhapa itu. Suasana pesanggrahan yang asri dan tentram tentu membuat siapapun yang berada di dalamnya menjadi tenang hatinya. Namun tak seperti hati laki-laki setengah baya itu. Sebagai salah satu pembesar di Demak-kerajaan yang sudah diambang kehancuran itu-tentu suasana seperti itu tidak serta merta membuatnya damai.
Pembunuhan terhadap Pangeran Surawiyata yang sekarang diberi gelar anumerta "Pangeran Sekar Seda Lepen" itu membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, pembunuhan itu menyulut perang saudara yang tentu akan membuat situasi menjadi semakin kacau. Pangeran Surawiyata terpaksa ia bunuh demi menaikkan Trenggana, yang tak lain adalah ayahandanya sebagai sultan ke-3 di Demak. Sementara Pangeran Surawiyata tak lain adalah pamannya sendiri.
Dimulai dari gugurnya Pati Unus-yang mendapat gelar anumerta Pangeran Sabrang Lor-yang tidak dikaruniai keturunan. Akhirnya, kedua adik almarhum itu berebut tahta Demak. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Trenggana dan Pangeran Surawiyata.
Tentu pembunuhan itu membuat putra dari Pangeran Surawiyata yakni Arya Penangsang menjadi memiliki dendam dengan keluarga Demak, termasuk Sunan Prawata. Berkali-kali terfikirkan olehnya untuk menyepi di suatu tempat yang jauh di puncak gunung dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Namun ia rasa tindakan seperti itu adalah tindakan pengecut. Berani berbuat maka berani bertanggungjawab, itu prinsipnya.
"Kakang Prawata,--" sayup-sayup suara Setyawati, istri Sunan Prawata itu memecah keheningan pagi. Perempuan itu menaiki pendhapa sambil membawa nampan berisi minuman hangat yang akan disajikan pada suaminya. "-panjenengan terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat berat. Sudilah untuk berbagi pikiran itu kepada saya," ujar Setyawati.
"Bukan berarti aku enggan untuk menceritakannya padamu, tapi aku tidak ingin masuk dalam kehidupan politik penuh dosa ini," tutur Sunan Prawata kepada istrinya. Ia merasa kehidupannya dilingkari oleh bahaya. Untuk keluar dari pesanggrahan pun ia harus berpikir beberapa kali. Jangan sampai ia keluarganya terkena imbas dari kesalahannya sendiri.
"Terkait pembunuhan Pangeran Surawiyata ?" Setyawati balik bertanya pada Sunan Prawata. Laki-laki itu sudah tidak bisa menghindar. Memang itu yang ia pikirkan selama ini. Maka dari itu, ia mengangguk menjawab pertanyaan istrinya.
Setyawati menghela nafas panjang sambil mengelus dadanya. Di saat yang kacau seperti ini ingin bagi dirinya untuk bisa keluar dari kekangan bencana ini. Ingin baginya bebas seperti wanita-wanita seusianya yang dengan senangnya memiliki anak yang beranjak remaja, lantas menikahkannya. Sementara dirinya ingin bersenang-senang sejenak saja tidak bisa.
"Assalamuaaikum,"
Terdengar suara salam dari balik gerbang pesanggrahan diiringi dengan suara beberapa ekor kuda yang meringkik karena diberhentikan. Letak pendhapa yang tak jauh dari gerbang membuat Sunan Prawata dan Setyawati bisa mendengar suara itu dengan jelas.
Penjaga gerbang tak serta merta membukakan penuh gerbang pesanggrahan itu untuk semua orang di rombongan itu. Hanya satu orang yang dipersilahkan masuk ke dalam pesanggrahan. Sesosok pria berbadan tinggi tegap berkulit gelap dan berambut panjang itu turun dari kudanya dan berjalan mengahmpiri pendhapa itu lantas menyembah kepada Sunan Prawata.
"Kisanak itu siapa ? Datang tanpa undangan. Apakah diutus seseorang atau datang atas keinginan sendiri ?" Sunan Prawata bertanya kepada pria itu.
"Utusan dari Jipang. Anda bisa memanggil saya dengan nama Soreng Rangkud. Saya kemari atas utusan dari Adipati Jipang, Arya Penangsang," jawab orang yang mengaku bernama Soreng Rangkud itu.
Bergetar hati Sunan Prawata mendengar jawaban Soreng Rangkud. Bagaimana tidak, seorang Arya Penangsang yang tak lain adalah musuhnya sendiri mendatangkan sekompi pasukan ke pesanggrahannya. "Lantas, apa yang diinginkan oleh Arya Penangsang ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Bengawan Sore : Gugurnya Arya Penangsang (Complete✔️)
Historical FictionKekacauan yang disebabkan oleh sebuah dendam melanda seluruh tanah Jawa. Ibarat telur yang sudah retak tinggal menunggu pecahnya. Kekuatan satu orang seakan membuat gentar seluruh manusia. Belum ada yang mampu menandingi kelicikannya. Bahkan, banya...