Benar saja, segerombolan orang tiba-tiba menyerangnya dengan berbagai senjata. Mau tak mau mereka berdua harus bertarung dengan mereka. Putri Kalinyamat pun sebenarnya merupakan salah satu prajurit terlatih walaupun seorang wanita.
“Perampok darimana kalian ? Berani sekali mengeroyok orang. Kalau mau, majulah satu persatu,” tantang Putri Kalinyamat tanpa mengenal rasa takut.
“Utusan Adipati Arya Penangsang di Jipang. Namaku Soreng Yuda. Diutus untuk menumpas semua keluarga Demak, termasuk anda. Putri Kalinyamat dan suaminya, Pangeran Hadlirin,” jawab salah satu orang yang kalau dilihat dari pakaiannya adalah pemimpin dari gerombolan itu. Mengakunya bernama Soreng Yuda.
“Memang benar Arya Penangsang adalah orang picik dan penuh dendam,” ujar Pangeran Hadlirin. Ia kemudian menyerang Soreng Yuda dengan kerisnya.
Pertarungan tak terelakan lagi. Baik Pangeran Hadliri maupun Putri Kalinyamat sama-sama bertarung. Pada zaman itu, masih umum bagi perempuan untuk belajar ilmu silat untuk melindungi dirinnya sendiri.
Tetapi pertarungan dengan jumlah yang tak seimbang itu menyulitkan Putri Kalinyamat dan Pangeran Hadliri. Tak jarang, bahu mereka terkena sabetan pedang milik orang-orang itu. Namun, mereka berdua berhasil membunuh beberapa dari mereka dengan keris masing-masing. Namun, mereka tetap kewalahan melawan segerombolan orang itu.
Hingga akhirnya Pangeran Hadliri sudah sangat kewalahan. Tiba-tiba sebilah pedang menembus dada suami Putri Kalinyamat itu. Seketika, Putri Kalinyamat menghabisi pembunuh suaminya itu.
Pangeran Hadliri tergeletak di atas tanah tanpa berdaya. Ia sudah kehabisan terlalu banyak darah. Wajahnya berubah menjadi pucat. “Segera pergi ke Pajang Awantipura, tuntut keadilan untuk kakang Sunan Prawata,” tutur Pangeran Hadliri kepada istrinya itu. Perkataan itu menjadi perkataan terakhir Pangeran Hadliri kepada istrinya sebelum akhirnya pergi untuk selama-lamanya.
Putri Kalinyamat menyeka air matanya yang sudah jatuh melewati pipi. Lantas perlahan-lahan membopong jenazah suaminya ke atas punggung kuda. Kemudian, Putri Kalinyamat menyambungkan kendali kudanya dengan kendali kuda milik almarhum suaminya. Ia pun memutuskan untuk tidak pergi ke Pajang Awantipura, melainkan kembali ke kampung halaman suaminya di Jepara.
ӁӁӁ
Pajang Awantipura merupakan salah satu kadipaten yang cukup ternama di saentero Demak. Tempat itu terkenal akan hasil buminya yang kelewat melimpah. Selama turun temurun, daerah Pajang Awantipura belum pernah mengalami yang namanya gagal panen. Baik padi, berbagai jenis buah-buahan, palawija, maupun rempah-rempah tumbuh subur di Pajang Awantipura.
Belum lagi dengan hewan ternak yang ada di kadipaten itu. Baik ayam, sapi, kambing, kerbau, bebek, dan lain-lain tidak ada yang dikandangkan secara tertutup. Mereka cukup diumbar di pekarangan rumah atau ditambatkan di batang pohon tanpa harus khawatir ada yang mencurinya. Produk yang dihasilkan dari binatang seperti kulit, daging, susu, dan lain-lain jumlahnya juga melimpah. Sehingga, Pajang Awantipura dijadikan salah satu tempat kesukaan para pedagang untuk mencari dagangan dan menjualnya di kadipaten lain. Selain karena harganya yang murah, kualitasnya pun bisa dikatakan unggul.
Siapa lagi jikalau bukan karena sang adipati Pajang Awantipura yang terkenal arif, bijaksana, dan sakti mandraguna itu. Ialah sang Hadiwijaya. Nama kecilnya Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Putra Ki Kebo Kenanga yang diasuh sejak kecil oleh Nyi Ageng Tingkir. Selain itu, ia juga merupakan menantu dari sang Sultan Trenggana, raja di Demak.
Waktu itu sudah larut malam ketika sang Hadiwijaya mengumpulkan seluruh pejabat dan keluarganya di pendhapa kediamannya. Ialah Ki Juru Mertani, Ki Pemanahan, dan Ki Penjawi yang tampak hadir dalam pertemuan internal itu. Hadir pula Danang, putra dari Ki Ageng Pemanahan. Namun, belakangan ini sang Hadiwijaya menganggapnya anak sendiri sehingga diberi gelar ‘Sutawijaya’ yang berarti putra sang Hadiwijaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Bengawan Sore : Gugurnya Arya Penangsang (Complete✔️)
Historical FictionKekacauan yang disebabkan oleh sebuah dendam melanda seluruh tanah Jawa. Ibarat telur yang sudah retak tinggal menunggu pecahnya. Kekuatan satu orang seakan membuat gentar seluruh manusia. Belum ada yang mampu menandingi kelicikannya. Bahkan, banya...