“Peyusup ! ada penyusup !”
Sang Hadiwijaya segera berlari menuju luar rumahnya seketika setelah mendengar teriakan prajurit jaga yang memukul kentongan berkali-kali. Memang tidak salah, ketika ia mendongak ke atas, ia melihat genteng atap rumahnya seperti baru saja diambil seseorang sehingga angin dapat mudah masuk. Sudah jelas pelakunya adalah seseorang yang ingin membunuh Adipati Pajang Awantipura itu dengan cara yang sama sekali tidak ksatria.
Terdengar dengan jelas dari arah atas, seperti langkah orang yang berlari secara terburu-buru, kemudian terpeleset dan jatuh di atas tanah. Genteng tanah liat itu menimbulkan suara yang cukup keras sehingga dapat terlacak dimana posisi orang itu. Dan ketika orang itu terpeleset dan jatuh, beberapa buah genteng ikut jatuh dan pecah berkeping-keping.
“Syukurlah dhimas selamat,” Ki Juru Martani mendekati Hadiwijaya yang baru saja keluar dari rumahnya.
“Alhamdulillah, kakak. Sebenarnya apa yang baru saja terjadi ?” ujar Sang Hadiwijaya kepada kakak seperguruannya itu. Ki Juru Martani tidak menjawab pertanyaan Hadiwijaya, tetapi mengajaknya ke tempat kejadian dimana penyusup itu jatuh.
Penyusup itu berjumlah dua orang. Mereka berdua tergeletak tak berdaya dengan kondisi badan yang penuh luka. Di sekitarnya, tampak jelas bekas pecahan-pecahan genteng yang ikut pecah ketika mereka berdua terjatuh. Luka-luka di bada kedua orang itu jelas berasal dari pecahan-pecahan yang terlihat tajam. Beruntungnya, kedua orang itu masih terlihat bernafas yang artinya mereka masih hidup. Dengan sigap, para prajurit membangunkan dan mengikat mereka dengan tali.
“Para penyusup sudah tertangkap baginda. Hukuman apa yang pantas bagi mereka, semua keputusan ada pada anda,” ujar salah seorang prajurit jaga yang menjadi ketua jaga malam pada hari itu.
Sang Hadiwijaya memberikan isyarat pada prajurit itu untuk menyingkir sebentar. Kemudian, ia bertanya kepada dua orang penyusup itu. ”Katakan padaku siapa namamu ? Siapa yang mengutusmu ? dan kenapa kalian menyusup di rumahku ?”
Kedua penyusup itu tampak ketakutan mendengar suara Hadiwijaya yang seperti mengeluarkan aura keagungan. Tak satupun dari mereka yang berani buka suara, sampai seorang prajurit mengancam mereka dengan gertakan tanpa suara yang berhasil mengagetkan mereka.
“Sa..sa...saya Soreng Pati, teman saya So..Soreng Rana. Kami diutus oleh Adipati Jipang, Arya Penangsang untuk menghabisi... baginda,“ujar seorang penyusup dengan badan gempal dan kulit gelap itu kepada Sang Hadiwijaya.
“Kami berdua mohon ampun pada paduka. Jangan habisi kami. Terserah Baginda hendak memenjarakan kami, tetapi jangan sampai kami dihabisi. Anak kami masih kecil-kecil,”mohon seorang penyusup berbadan kurus kecil yang bernama Soreng Rana itu.
Sang Hadiwijaya tak langsung menjawab permohonan Soreng Pati dan Soreng Rana. Laki-laki yang umurnya masih terbilang muda itu seperti berpikir untuk memutuskan perkara yang cukup sulit ini. Apalagi ini kembali menyangkut tentang Adipati Jipang, Arya Penangsang.
“Lepaskan mereka berdua, kemudian beri mereka beras masing-masing satu karung !” titah Sang Hadiwijaya kepada prajuritnya. Sontak semua yang hadir di sana—kecuali Ki Juru Martani, merasa kaget dan heran dengan keputusan Hadiwijaya yang menurut mereka tidak wajar. Belum pernah terjadi seseorang melepaskan pelaku kejahatan yang sudah terbukti secara langsung.
“Nuwun sewu, apa baginda tidak salah untuk melepaskan mereka semua ?” prajurit pemimpin jaga malam itu bertanya pada Sang Hadiwijaya. Adipati Pajang itu hanya menggeleng, kemudian meneruskan sabdanya,”Kalian akan aku lepaskan, kemudian bilang kepada atasanmu kalau Adipati Pajang Awantipura akan segera bertemu dengan atasanmu,”
“Ampun paduka, kami sudah tidak ingin kembali ke Jipang lagi. Kami ingin memboyong keluarga kami menuju Pajang Awantipura. Kebaikan paduka membuat kami tersentuh.” Soreng Rana kembali memohon kepada Sang Hadiwijaya. Sudah berkali-kali mereka ditangkap oleh musuh, tapi baru kali ini mereka diampuni dan justru diberi santunan untuk keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Bengawan Sore : Gugurnya Arya Penangsang (Complete✔️)
Historical FictionKekacauan yang disebabkan oleh sebuah dendam melanda seluruh tanah Jawa. Ibarat telur yang sudah retak tinggal menunggu pecahnya. Kekuatan satu orang seakan membuat gentar seluruh manusia. Belum ada yang mampu menandingi kelicikannya. Bahkan, banya...