Gerbang belakang

108 20 35
                                    

Januari, 2019.

Kabut tipis menghiasi bumantara pagi ini. Bau khas tanah masuk ke indra penciumanku, karena hujan tadi malam masih membekas. Hari ini seperti biasa semua orang menjalankan rutinitas dan melakukan hal yang sudah dilakukan secara berulang dan terus menerus seperti itu. Kalian tau, ini sangat membosankan.

Hai! Aku Mayna Ananta. Seorang gadis yang terlahir karena cinta sepasang insan dan mendambakan keturunan. Sampai sekarang aku tidak tau, bagaimana aku ini dibuat oleh mereka? Apa ini hasil dari 'malam pertama'? Atau ... apa? Ah, sudahlah lupakan saja!

Aku sangat awam dengan keramaian. Di mana ada kerumunan di sanalah aku tak ada. Menurutku kata 'sahabat' itu tidak nyata. Jangankan sahabat teman saja aku tak punya. Miris? Entahlah, menurutku hidup seperti ini lebih baik dibandingkan harus menjalankan ikatan dengan orang lain dan memakai topeng kenyamanan di sana.

Sinar mentari muncul perlahan. Aku yang sedari tadi masih berkutat dengan gemulainya kata-kata di atas tumpukan kertas akhirnya memutuskan untuk berangkat sekolah.

Aku pergi tanpa pamit. Durhaka? Tak sopan? Atau ... tak ada nilai spiritual di dalam diriku?

Orang tuaku. Mereka sedang mencari uang di sebuah benua yang berbeda denganku. Aku sendiri di sini dan tinggal di sebuah rumah mewah yang mereka belikan. Kakak? Adik? Aku tak pernah mengatakan julukan itu kepada siapa pun. Ya, karena kenyataannya aku tidak memiliki sosok seperti itu. Aku benar-benar sendiri.

Semenjak umurku sudah menginjak 15 tahun mereka menganggap, aku bisa jaga diri sendiri. Sampai-sampai mereka berani meninggalkanku untuk sebuah 'pekerjaan'.

Kali ini seperti biasanya aku berangkat menaiki angkutan umum. Berdesak-desakan, merasakan gerah, berbagi tempat dengan orang tak dikenal. Ini yang kusuka, aku sangat menikmati itu semua. Suka menyendiri bukan berarti aku menutup mataku untuk orang lain.

Rasanya beda di saat kita duduk di sana dengan sebuah kesederhanaan dan kepedulian. Hari ini penumpang mayoritas sebaya denganku. Mereka tak mengenaliku karena aku tak mau dikenal oleh mereka. Toh, aku ini siapa?

Aku duduk di kursi panjang dekat supir dan ini berarti tatapanku langsung mengarah keluar. Kulihat semua dengan sesakma. Di samping kiri ada seorang laki-laki bertubuh jenjang rambut berwarna hitam pekat itu ia biarkan tergerai. Tinggi 176 cm, kulitnya berwarna kuning langsat, memakai seragam sama sepertiku dan dia tengah asik dengan handphone-nya. Sejak aku masuk ke angkutan umum ini, dia sudah ada di sini lebih dulu.

Sekitar jam 07.15 aku masuk dan duduk di sini. Dan sekarang sudah jam 07.30 berarti sudah 15 menit dia berkutat dengan handphone-nya atau mungkin lebih. Sementara 5 orang lainnya mereka sekumpulan wanita yang seragamnya berbeda denganku. Dua orang perempuan duduk di samping laki-laki itu. Dan tiga lainnya duduk di kursi panjang yang berlawanan arah.

Di tengah perjalanan ada sesuatu yang terjadi dengan salah satu ban ngakutan ini. Itulah alasan mengapa supir berani menghentikan perjalanan dan menepi.

"Duh! Kenapa ini, Pak?" keluh perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.

"Maaf, Neng. Bannya bocor, kalian boleh turun dan cari angkutan umum yang lain tanpa harus membayar. Sekali lagi maaf, ya." jelas si supir.

"Lain kali sebelum berangkat, tuh, dicek dulu kondisi angkutannya. Jadi gak buat penumpang ribet!" gerutu perempuan itu yang akhirnya beranjak keluar dan disusul dengan empat temannya.

"Maaf, Neng. Ini memang salah saya."

Aku masih duduk di tempat yang sama tanpa merubah posisi sedikit pun.

"Neng?"

"Iya, Pak? Ada apa?"

"Neng, gak turun?"

Kalimat yang tertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang