Malam Kelam

47 4 11
                                    

"Gerimis mempercepat kelam. Membawa hanyut sifat sadrah akan rahsa yang termaktub. Menyeru dalam sendu, berharap dalam pejam, semoga semua itu akan ada ruang temu. Tiada atau hanya ada untuk sementara."

-May_MalamKelam, Januari 2020-

___________

"May, ayo pulang!" Suara itu menghantarku pergi dari taman.

Riuh kota yang menandakan aktivitas manusia masih terdengar, tak ada habis-habisnya kalau membahas hal itu. Berjajar pondasi lampu sesuai warnanya menerangi gulita malam ini. Bintang bertabur tak teratur, menemani sang bulan yang bertengger di langit.

Aku sedari tadi masih menatap ke arah luar jendala, sementara Marendra fokus menatap ke depan dan mengendarai mobil. Canggung. Wajar saja kami sudah lama tidak bertemu, kalau pun harus memulai pembicaraan rasanya itu sulit.

"May," ujarnya yang memecahkan keheningan malam diantara kami.

"Iya?"

"Em ... aku mau nanya, tapi kamu jangan marah, ya." Dia masih fokus ke depan.

"Tanya saja," balasku dengan tatapan yang masih sama.

"K-kamu ... enggak ada niatan buat cari tahu siapa pelaku--" Belum sempat dia mengakhiri kalimatnya, kami dibuat kejut oleh sosok laki-laki berdiri tepat di depan mobil dan ini memaksa Marendra untuk menghentikan perjalanan.

"Siapa itu?" Marendra mengecilkan matanya.

Sosok laki-laki itu berdiri di depan mobil kami dan tak mengubah posisinya sama sekali. Rasanya perawakan seperti dia pernah kulihat, tapi entah di mana dan kapan aku sudah lupa. Dia memakai mantel tebal berwarna hitam, celana hitam, dan, sepatu hitam. Wajahnya tak jelas, maklum mataku ini ada sedikit gangguan ketika malam.

"Ndra, jalanan bisa macet, nih," keluhku sambil melihat ke belakang. Benar saja mobil-mobil lainnya ikut terhenti, suara klakson mobil saling bersahutan.

"Duh, gimana ini? Aku turun dulu, ya." Marendra menawarkan diri.

"Kalau dia orang jahat gimana?"

"Tenang, ilmu karate yang diajarkan oleh Papahku masih ada, kok. Tak perlu cemas."

"Ya ... walaupun, Ndra."

"Kau khawatir, ya, May. Ah! Sudah kuduga sepertinya kau ada rasa," terkanya.

"Ndra, enggak gitu."

"Dah, ya, aku turun dulu."

"Dasar kepala batu!" umpatku.

Terlihat dari sini percakapan mereka sudah dimulai. Marendra sepertinya berusaha membujuk dan sosok laki-laki itu masih kekeh dengan pendiriannya. Konflik terjadi di antara mereka, aku ingin turun tapi langkah ini berat sekali.

Puluhan menit sudah terbuang, di belakang sana orang-orang masih bersahutan dengan klaksonnya dan di depan konflik kecil antara Marendra dan laki-laki itu sedikit mereda. Mereka saling mengerti, mengulurkan tangan layaknya seorang teman. Marendra melangkah ke arahku dengan maksud kembali ke posisi tadi.

Namun, siapa sangka sosok laki-laki itu mengeluarkan sebilah pisau dan menusuk Marendra dari belakang. Aku bergegas menghampiri tubuh Marendra, dia sudah jatuh dan terbaring di atas aspal jalan kota. Di sisi lain si pelaku berlari ke arah pohon-pohon di pinggir jalan, dia menerobos masuk ke sana tanpa menghiraukan gelapnya malam. Wajahnya tak jelas, remang-remang. Orang-orang yang menyadari hal ini mereka keluar dari mobil dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Berbagai orang ada di sana, ada yang membantuku untuk membawa tubuh Marendra yang sudah bersimbah darah, ada yang saling berpendapat seakan semua opini mereka benar, ada yang mengabadikan hal ini dengan sebuah foto dan video, sementara aku hanya menangis.

Kudekap tubuhnya erat. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan berharap kepada Sang Kuasa, bahwa dia bisa terselamatkan. Jangan ambil dia, beri aku satu alasan agar aku pantas untuk hidup.

Tubuhnya lunglai, darahnya sedikit terhenti karena kusumbat dengan kain mantel. Sesekali kumenelan ludah dan berbicara kepadanya, "Ndra, kamu harus kuat." Berada di sampingnya dan menguatkan bahwa dia masih bisa terselamatkan.

Para dokter dan perawat lainnya membawa tubuh yang lunglai itu ke sebuah ruang, mereka menyebutnya dengan ICU. Berjam-jam lamanya tapi belum ada kabar.

Malam panjang ini kuhabiskan untuk bersedekap kepada-Nya. Menaruh harap yang sangat besar. Ah! Aku manusia yang buruk, bersikap seperti ini ketika ada maunya. Aku bukan manusia yang sempurna, terkadang dengan Tuhan saja aku masih merasa ada jarak. Miris. Bukan Tuhan yang menjauh, tapi manusialah yang menginginkan hal itu terjadi.

Sajadah tergelar, kain sutra menutup tubuh dengan rasa hangat. Tangan lembut ini mengadah kepada-Nya. Di balik sunyinya malam masih ada insan yang menaruh harap dan doa. Air mata itu lolos tak terbendung, jiwa lemah manusia kini semakin jelas dan nyata adanya. Tuhan, beri aku alasan agar aku pantas untuk hidup. Meski tak sama beri aku dama, meski berbeda jangan ambil rasa hangat ini dari dia yang terkujur lunglai, hamba belum siap dengan semuanya.

Gerimis mempercepat kelam. Membawa hanyut sifat sadrah akan rahsa yang termaktub. Menyeru dalam sendu, berharap dalam kelam, semoga semua itu akan ada ruang temu. Tiada atau hanya ada untuk sementara.

Kalimat yang tertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang