Pembantaian

92 17 12
                                    

"Harap dalam pejam kini baswara menjelma menjadi temaram. Kisah hidup kelam dan hitam mulai tenggelam. Mengubur masa di mana aku terjerembab dalam gelap dan mengubur harsa menjadi sengsara."

-May_Pembantaian, Februari 2019-

__________


Ruangan kedap suara di sana berjajar buku-buku yang kusukai sedang mengantri untuk dibaca. Tampak cantik dan gemulai mereka berada di rak kayu itu, bagai Sang Bianglala mereka berwarna dan bergairah wajar jika aku tergoda. Di penghujung bianglala itu ada bidadari menantimu. Pemandangan luar biasa ini ada di perpustakaan yang sejak dulu aku impikan.

Hari ini aku sangat senang. Keluargaku berkumpul semua di dalam satu wadah menghabiskan waktu untuk bertukar canda dan tawa hingga saling bertanya tentang cerita mereka.

Semua keluarga besar berkumpul. Mereka duduk di ruang tamu dan menyibukkan diri untuk tertawa lepas.

Aku memilih duduk di sini, membaca buku yang dihiasi kata-kata pemanis di dalamnya. Mendengar kabar mereka 'lah datang sudah cukup membuatku bahagia.

Kata-kata dalam buku seakan menarikku ke dalam dimensi berbeda. Di mana aku bisa menjadi diriku seutuhnya tanpa harus memakai topeng. Lembaran kertas di setiap buku itu memiliki aroma yang berbeda, kuhirup dalam-dalam seakan setelah ini aku tidak bisa menikmatinya lagi.

Jam bekerja sesuai sistemnya, mengubah pagi menjadi siang. Di luar sana terlihat cukup terik tapi tidak dengan ruangan ini, AC telah membuaiku hingga menipu waktu.

Menyingkirkan kain baju yang menutupi jam di tangan kiri, benik mata dibuat tak percaya. Ternyata sudah tujuh jam aku berada di sini. Ini karena buku-buku itu sangat mempesona hingga aku harus melayani mereka satu persatu.

Aku harus pergi!

Masih tak rela meninggalkan buku-buku itu di sini. Namun mau bagaimana lagi? Ada kehidupan juga di luar sana yang harus kujalani.

Perlahan tapi pasti derap langkah ini membuat diriku semakin dekat dengan pintu. Memutar daun telinganya dan berhadapan dengan ruang yang kini sudah berbeda.

Atma dan daksaku terbeku. Suasana rumah yang hangat dan nyaman sekarang sudah tak begitu lagi. Pecahan kaca ada di mana-mana, barang-barang sudah tergeletak bukan di tempatnya. Bercak darah masih segar menghiasi dinding dan lantai. Darah siapa ini? Kekacauan yang tak masuk akal, bagaimana semua ini bisa terjadi?

Jantung dan paru-paru terasa hilang dalam sekejap ketika aku menatap sosok laki-laki tergeletak tak berdaya di atas lantai dekat tangga. Dia adalah sosok laki-laki yang dibanggakan oleh orang tuaku. Rambutnya putih karena menua dan arloji berwarna emas hadiah dari anak-anaknya masih melekat di kulit keriput itu. Ditambah empat peluru menancap di dadanya. Darah terus mengalir tanpa henti rambut putihnya menjadi merah kudekap tubuh mayat itu seerat-eratnya. Kucoba goncangkan tubuh itu berharap ia kembali sadar dan hidup. Namun ini mustahil.

Siapa psikopat itu?

Tubuhku lunglai, tangisku pecah dibuatnya, pipi merah dibanjiri air mata. Nenek? Papa? Mama? Apa mereka senasib seperti ini?


Aku memberanikan diri untuk mengitari seisi rumah.

Di ruang tamu suara tawa mereka sudah tidak ada lagi, canda tawa itu hanya sesaat dan cepat sekali pergi. Aku merasa benar-benar hancur semua mati tanpa tersisa satu pun.

Mayat-mayat berdaging dingin itu sangat mengenaskan. Sosok laki-laki yang tak asing bagiku, perawakannya sangat kukenal, kini ia terbaring lemas di sofa dan tangan kanannya hilang entah ke mana.

Perempuan tua yang kusebut 'Nenek' kini sudah pergi, mayatnya masih berada di kursi roda. Tak berdaya. Mereka senasib dan pergi bersama untuk selamanya.

Rambut panjang berwarna kuning jagung itu masih melekat di kepala perempuan berumur 35 tahun. Mama. Begitulah aku memanggil wanita itu, wajahnya terkena percahan kaca dan darah terus mengalir dari kepala karena peluru tertancap di sana.

Mata birunya masih terbuka. Dengan sempoyong kuberjalan mengarah wanita itu. Tangisku semakin jadi ketika tangan hangatnya menyentuh pipiku.

"Mama ... harus kuat, ya! Aku gak mau sendiri lagi, Ma! Tolonglah bertahan demi anakmu ini!"

Isak tangis menghiasi percakapan antara kami. Kukecup tangan hangatnya yang memang dari dulu ini tak pernah kulakukan.

"Mama harus kuat!"

"May. Mama harus pergi ...."

Mahkotaku benar-benar jatuh warna bianglala itu sudah lebur. Tangisku semakin menjadi mereka hanya meninggalkanku di sini. Aku kini benar-benar sendiri.

Dekapan ini kubuat lebih erat aku masih membutuhkan kalian. Tolonglah bangkit kembali!

Kuambil pecahan kaca dengan maksud ingin menyusul mereka. Bukan kematian yang menyedihkan melainkan kehidupanlah yang jauh menyakitkan.

Kita semua akan bertemu kembali.

Hingar bingar suara mobil polisi terdengar dari luar sana. Mentalku untuk pergi semakin bulat.

"Angkat tangan!" ancam rombongan polisi yang mengarahkan senjata ke tubuhku.

"May ...." Suara lembut seorang laki-laki yang tak asing di mataku.

"Kau yang melakukan ini?"

"A-aku ...?"

"May! Apa yang kau lakukan?" Kini intonasi laki-laki itu semakin meninggi.

"A-aku ... aku tak tau apa yang terjadi. Kau percaya denganku, 'kan, Ndra?"

"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan kepada keluargamu? Dan kaca di tangan itu, lalu darah di bajumu, kau masih mengelak?" tuduh Marendra.

Ini membuatku tak berpikir normal. Mulutku tak bisa berkata apa-apa. Apa yang harus kujelaskan sementara aku tak tau apa yang terjadi.

Marendra adalah tetanggaku, jadi wajar jika dia ada di sini. Kemungkinan besar dialah yang melaporkan kepada polisi bahwa di rumahku ada pembantaian.

"Ayo! Tangkap dia!" suruh salah satu pimpinan polisi itu.

Aku dibawa ke tempat yang seharusnya aku tak ada di sana. Mereka bertanya kepada orang yang salah, aku benar-benar tak tau apa-apa.

Mentalku benar-benar hancur, aku di sini korban tapi kenapa aku dituduh sebagai pelaku? Memang benar kematian itu tidak menyedihkan melainkan kehidupanlah yang jauh menyakitkan.

Dituduh sebagai pelaku hanya karena kaca di tanganku dan baju yang bersimbah darah. Tidak ada keadilan yang kurasakan hidupku benar-benar hancur.

Berbulan-bulan lamanya aku di bui. Polisi melepaskanku karena aku tak terbukti bersalah. Namun, pelaku bahkan dalangnya sampai saat ini belum ditemukan.

Memilih untuk tinggal di rumah kontrakan. Karena kebetulan aku mendapatkan warisan dari orang tauku selepas pembantaian. Kalimat yang tertinggal atas insiden itu hanyalah ucapan perpisahan dari Mama.

Tuhan, apa yang kau rencanakan hingga prosesnya sepahit ini?

Kalimat yang tertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang