"Hati kecil itu rapuh, berkali-kali mencoba melupakan masa lalu yang tak kunjung sembuh. Kini akara tentang sengsara mulai nyata, membawa sejuta nestapa tanpa aba-aba."
-May_Rapuh, Januari 2020-
__________
Mentari mengubah cat langit menjadi biru. Ingar-bingar suara kota kembali terasa, suara kendaraan berlalu lalang yang dipakai untuk mengadu nasib tak henti-hentinya berbunyi. Entah kapan hal itu akan selesai. Sebuah pertanda yang tak asing lagi jika ada keributan di sela mereka. Bumi tua karena ulah manusia, bumi sengsara karena perusak alam berhambur di mana-mana.Teriknya siang ini membuat bau keringatku menjadi khas. Polusi, melekat dengan kuat di kain yang kupakai untuk menutupi tubuh. Menepi sejenak untuk melepas penat.
"Pak, air minumnya satu, ya."
"Yang dingin, Mbak?"
"Iya, Pak, yang dingin."
Warung sederhana beralas tanah, duduk di atas kursi kayu yang panjang dan menikmati kebisingan kota, di sinilah aku berada.
"Hai! Apa kabar?"
Tiba-tiba sosok laki-laki yang sebaya denganku datang menghampiri.
"Marendra? Kau ...." Aku merogoh saku dengan tergesa-gesa, mengambil uang untuk membayar minum dan setelah itu lekas pergi dari sini.
"May ... aku mau bicara." Dia memohon dengan lembut. Namun, sayangnya hatiku yang rapuh dan mulai layu ini sudah beku untuk seorang laki-laki seperti dia.
Aku mengabaikannya.
"May, tolong jangan pergi!" Kali ini dia menahan tanganku.
"Maaf, aku sibuk."
"Aku bolos sekolah hanya karena ingin berbicara denganmu, May," jelasnya dengan maksud ingin membujuk.
"Itu salahmu. Tidak ada yang menyuruhmu ada di sini, termasuk aku." Aku tak berani melihat wajahnya, sedari tadi hanya pundakku yang terlihat dan terbayang di netra laki-laki itu.
"Aku mengorbankan kesibukan sekolah untukmu, bisakah aku mendapatkan itu juga darimu?"
"Kau tak pantas untuk mendapatkan hal yang sama, Ndra," tukasku cepat.
"Aku tau, tapi beri ruang waktu untuk aku menjelaskan, May," rayunya sekali lagi.
Kuambil napas ini dalam-dalam. Membalik tubuh dan berpapasan dengan wajah menyebalkan itu.
"Huh! Baiklah, tapi tidak di sini, 'kan?"
"I-iya, May. Kita ke taman saja, ya," jawabnya dengan sangat sumringah.
Penampakan itu masih sama, hanya suasananya saja yang berbeda. Kursi kayu dibaluri cat berwarna putih, menambah kesan megah di tengah taman.
"May." Kesunyian yang menyisip di antara kami dipecahkan oleh suara itu.
"Langsung to the point, aja."
"Kau masih dendam?"
Pertanyaan macam apa ini? Aku sedang mengikhlaskan itu semua.
"May, hati manusia itu seperti barat dan timur. Emosi negatif bagaikan timur dan emosi positif bagaikan barat, kita tidak bisa condong ke salah satu itu. Kita harus berada di tengah-tengah."
Aku masih terdiam. Menyimak perkataan yang dituturkan olehnya dengan sangat sopan.
"Kalau kita ngalamin hal yang enggak sesuai dengan ekspetasi, kita enggak boleh terlalu sedih hati. Dan jika kita sudah mendapatkan hal yang kita inginkan, kita enggak boleh bangga diri. Kalau kita condong ke salah satu arah itu pasti kita meninggalkan arah yang lainnya. Kita enggak bisa condong ke dua arah itu, enggak bisa, May. Kalau kita mendekat ke timur pasti kita berjarak dengan barat, begitu juga dengan sebaliknya. Jadi tempat yang tepat adalah berada di tengah-tengah." Penjelasan itu membuat hatiku terketuk.
"Dan, sekarang. Temanku masih berada di arah yang condong ke salah satunya," sindirnya dengan halus.
"Aku?"
"Kau menganggap dirimu itu temanku?" Pertanyaan menyebalkan ini memberi tamparan yang sangat keras.
"Ndra, aku pergi dulu, ya," pamitku yang mulai tak sanggup.
"May, aku belum selesai," cegahnya.
"Sebelumnya aku minta maaf soal tuduhan itu, pembantaian di rumahmu terjadi dengan cepat, May. Kupikir pelakunya adalah orang dalam dan aku enggak mau hal itu terjadi dengan keluargaku, jadi ... aku kira ada salah satu orang yang masih hidup dan dia adalah tersangkanya. K-kau ... apa yang kau lakukan dengan kaca itu, May? Menyusul mereka? Kau bosan hidup?"
"Ndra! Yang tau diriku itu aku," bentakku.
"Aku paham, May ...,"
"Maksudku, buka mata hatimu sebentar. Dunia sedang bercanda memainkan skenario rahasia yang membuat siapa saja merasakan kecewa dan bahagia. Dan ini ditujukan kepada siapa saja, termasuk ke diriku dan dirimu," tutur laki-laki itu dia masih duduk dengan posisi yang sama, sembari menatap ke depan dan sesekali melihat mataku untuk meyakinkan.
"Apa kau merasakan hal yang sama denganku, Ndra? Hidupku lebih kelam," sambungku membandingkan.
"Semua manusia memiliki sisi kelam, tapi bedanya di sini masing-masing dari kita dikasih dengan bungkus dan kemasan yang berbeda." Aku tak menyangka laki-laki pembolos ini mengatakan hal yang benar-benar membuat hatiku terbuka.
"Dan ... bagaimana dengan sekolahmu, May? Kau tidak melanjutkan sekolah?" Dia menatap mataku dengan rasa kepedulian.
"Sekolah mana yang mau menerima gadis sepertiku? Dituduh sebagai tersangka pembantaian, bahkan dicap memiliki gangguan psikologis, apa masih ada yang mau menerimaku?"
"Tuduhan itu tak benar adanya, 'kan? Lalu kenapa temanku kini gelisah?" Senyum dari seseorang yang sudah lama tak kulihat, kini mulai hadir kembali.
"Tidak ada yang peduli dan percaya dengan kata-kata dari seorang gadis sepertiku, Ndra." Aku menumpangkan wajahku pada ke dua telapak tangan dan menuang tangis yang semakin lama semakin menjadi.
Mengusap pucuk kepala dan pundakku menggunakan tanganya. Itulah yang dia lakukan ketika tangisku tumpah tak terbendung, seorang teman yang kurindukan hadirnya kini datang untuk menguatkan.
"Kau masih ada aku, May, aku percaya denganmu," bisiknya.
Tak ada lagi pembicaraan yang terbentuk, tangisku masih saja mengalir tak henti-henti. Serapuh inikah hatiku? Dulu aku setegar karang, tapi kenapa sekarang karang itu tidak ada? Aku lupa satu hal. May yang sekarang bukan yang dulu.
Siulan burung berlagu bersama tangis, satu-satu dedaunan dari pohon itu jatuh menyentuh tanah. Serayu membuat semua hal bersenandung, meski ia tak tampak tapi ia bisa dirasa. Kusapu tangis dari pipi merah, mengubah netra untuk menghadap ke depan. Dan mulai membangkitkan mahkota yang sejak dulu sudah jatuh bahkan rapuh.
"Ndra, aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Mungkin karena rasa gengsi ini terlalu tinggi, jadi aku menghindar. Dan ... terima kasih," ujarku perlahan mulai berani menatap benik matanya.
"Aku yang seharusnya minta maaf, tak sepatutnya aku menuduhmu, May. Lalu, kau berterima kasih untuk apa?" Dia mengeryitkan dahi.
"Kalimatmu tadi sudah membawa rasa kesadaran." Aku masih kagum dibuatnya.
"Itu sudah kewajibanku sebagai teman, jadi, kata terima kasih itu tak pantas diucapkan," jelasnya.
"Kalau kata 'Terima kasih' tak pantas untuk membalas kasih, lalu, bagaimana aku membalasnya?" tanyaku tak mengerti.
"Lakukanlah hal yang seharusnya kau lakukan, berbuatlah hal yang seharusnya kau perbuat. Tidak ada perbuatan, maka kasih itu juga tidak ada. Beri kasih kepada mereka yang membutuhkan kasih itu, May." Suara lembut itu membekas di telingaku, lagi dan lagi aku dibuat kagum olehnya.
Kini, kesunyian kembali menyisip. Kami duduk di atas kursi kayu sambil menatap ke depan. Tak ada hal istimewa di taman ini. Perkataan yang kudengar sejak tadi memberi makna bahwa hidup itu timur dan barat. Dan kita, harus berada di posisi yang tepat. Kalian pasti tau tempat yang tepat itu di mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalimat yang tertinggal
Mystery / ThrillerDerap langkah perlahan terdengar dari luar, menyusun irama dengan kecepatan yang sama. Rasanya suara itu semakin dekat, benar saja dia berhenti tepat di sampingku. Dengan lembut bibirnya mulai mengeluarkan suara. "May, aku di sini ...," Tangan hanga...