Lembaran baru

81 17 13
                                    

"Buana hanya fana. Pun dengan bahagia dan kecewa. Tak selamanya semua rasa itu mengendap, ada kalanya waktu membantu mengobati itu semua. Citta mengharap dama hanya kepada Sang Kuasa. Menerima takdir yang sudah termaktub, mengubah gelap menjadi terang, mengubah yang kabur menjadi jelas. Kini sudah kumulai lembar baru yang tak lagi biru."

-May_LembarBaru, Desember 2019-

__________


Mentari menerobos ventilasi kamarku, memberi sentuhan hangat pada tirai mata yang sangat berat untuk terbuka dan tak membiarkan benik mataku muncul begitu saja.

Serayu masuk melewati jendela kamar. Gorden bersenandung dibuatnya. Ambu pagi menyusup ke hidungku dengan sopan, segar dan nikmatnya aku masih bisa menghirup udara ini.

Terima kasih, Tuhan.

Hari ini aku pergi ke toko bunga, membantu Paman melayani langganan dan mengirim bunga itu sesuai alamat dan tujuannya.

Kukayuh sepeda dengan semangat, kali ini kumemakai celana jeans dan baju lengan panjang berwarna putih tak lupa topi berwarna putih yang baru kubeli di pasar senin. Rambut berwarna kuning jagung yang panjangnya sedikit melebihi bahu itu kukuncir dengan pita berwarna merah.

Angin menyapa rambutku dengan lembut, menyapu segala rasa malas dalam diri. Pohon-pohon yang kulewati, mereka memberi lambaian. Alam akan bersahabat denganmu, jika kamu mulai tersenyum dan bergairah. Ya, itulah adanya.

Menebar senyum kepada siapa pun, aku yang sekarang bukan yang dulu. Yang lalu itu adalah aku yang masih sendu dan pilu.

"Eh, May, ceria banget, ya." Paman yang tengah memeriksa penataan bunga di luar toko, langsung menyambutku dengan ceria.

"Harus, dong. Owh, iya, bunga mana yang harus kukirim pagi ini?"

"Itu, yang ada di atas meja kasir. Tantemu sudah mengemasnya dengan sempurna." Paman masih fokus membenahi tatanan bunga itu.

"Owh, iya, May. Alamatnya sudah Paman taruh di samping bunga itu, jadi, lakukan pekerjaanmu dengan baik, ya."

"Siap, Bos!"

Kutumpangi sepedaku pada tembok. Melangkah menuju meja kasir dan melihat alamat yang kujadikan tujuan kali ini.

Perumahan Arsi Permai, Block E1, nomor 5?
Apa aku salah baca?

"Em ... Paman,"

"Iya, May? Apa ada masalah?"

"E-enggak, kok, Paman. Ini alamatnya sudah benar, 'kan?" Aku memastikan.

"Coba Paman lihat." Paman meraih selembar kertas dari tanganku.

"Ck! Ini, 'kan, dekat rumahmu dulu, ya. Kalau gitu biarkan Paman saja yang menghantarkannya," tawar Paman.

"Tidak apa-apa, Paman. May, sudah lama tidak ke sana. Sekalian ingin nostalgia."

"Kau masih trauma, May. Ayolah! Biar Paman saja, ya," bujuk Paman yang cemas.

"Paman ... aku baik-baik aja, kok. Percaya sama, May, ya." Kutaruh ke dua lengan di pundak Paman. Berusaha meyakinkan dan bersikap kuat di hadapannya.

Sunyi menyisip percakapan kami. Paman terdiam setelah mendegar ucapanku.

"Oke. May, berangkat dulu, ya. Salam untuk Tante." Kukecup tangan hangatnya dan berharap restu itu selalu mengiringi setiap kayuhan yang kuciptakan.

"Hati-hati, ya, May." Paman mengelus lembut pucuk kepalaku yang tertutup topi.

"Siap, Paman."

Mengambil sepeda yang tersandar di tembok, kutaruh bunga dan secarik kertas bertuliskan alamat di depan keranjang sepedaku. Dan aku mulai mengayuh.

Jantung ini berdetak lebih kencang dari biasanya. Mengingat mayat-mayat itu tergeletak dalam kondisi yang sangat miris. Terlebih lagi semua mayat itu adalah orang-orang yang kusayangi. Napasku terengah-engah. Menahan air mata agar tak jatuh membasahi pipi, tapi usahaku sia-sia, ia lolos dan terjun tepat di pipi merahku.

Ada apa denganmu, May?

Kayuhan demi kayuhan memotong jarak antara diriku dan lokasi itu. Semakin banyak kayuhan yang kuciptakan, semakin banyak pula jejak roda sepeda ini membekas.

Huh! May, Kamu bisa! Itu adalah kejadian lalu dan bukan hal yang harus diingat lagi.

Kini kuberdiri tepat di depan gerbang rumah itu. Semua masih tampak sama. Bangunan bekas pembantaian yang ada di sebrang sana sepertinya masih seperti dulu.

"Permisi."

Tidak ada tanggapan dari orang dalam.

"Permisi."

Kini intonasi suaraku sedikit tinggi dari sebelumnya.

"Iya," jawab sosok gadis cantik yang keluar dari dalam rumah itu. Sepertinya dia orang baru.

"Ini. Ada pesanan bunga untuk Nona Elesya." Aku sambil melirik kertas nama untuk mencontek.

"Iya, saya sendiri."

"Ini pesanan Anda. Terima kasih, semoga senang dengan pelayanan kami," tuturku layaknya penjaga kasir Alfamart, sembari menyerahkan bunga itu.

"Uangnya sudah saya transfer, ya." Ia mengambil bunga itu dariku.

"Maaf, sebelumnya. Saya mau bertanya sedikit, boleh?"

"Boleh. Mau bertanya tentang apa, Mbak?"

"Rumah di sebrang sana, itu kenapa tidak ada perbaikkan, ya?" tanyaku ragu.

"Owh, itu masih dalam pengawasan polisi, Mbak. Sengaja dibiarkan agar tak ada sedikit pun benda yang hilang dan memudahkan polisi untuk mencari tahu." Begitu katanya.

"Oke. Terima kasih, atas waktunya. Maaf sudah mengganggu."

"Sama-sama."

Rindu. Kata itulah yang menggambarkan semuanya. Kuberanikan diri untuk ke rumah yang dulu.

Kenangan ketika aku sendiri, kenangan ketika aku dan keluargaku berkumpul. Dan perpustkaan yang di dalamnya banyak sekali buku-buku di sana. Semua masih melekat dengan jelas.

Kira-kira buku-buku itu masih ada atau tidak, ya? Rasanya sudah lama aku tidak membaca.

Keinginan untuk masuk ke dalam sana sangat besar. Namun, aku tak ingin membuat Paman khawatir. Di dalam ada sesuatu hal yang tidak kuketahui dan mungkin saja bisa membahayakanku.

Kusimpan niat itu dalam-dalam. Pergi dari rumah lawas ini. Dan mengambil sepeda setelah itu lekas pergi.

Baru dua kayuhan tercipta. Kakiku tertahan oleh suara seseorang yang memanggilku. "May ...." Suara yang tak asing itu memanggilku, sosok laki-laki yang menuduhku sebagai pelaku tanpa alasan yang jelas.

Aku memilih untuk mengabaikan dan tak menghiraukannya.

Mendengar suaranya saja membuat hatiku tersayat, bagaimana dengan kutampakkan wajahku di hadapannya? Mungkin aku menjadi gila sekita karena hal itu.

Bukan karena rasa dendam. Melainkan aku tak ingin membuka lembaran lama itu terbuka kembali. Cukup ini saja yang terjadi, aku sudah bersyukur.

Hidup dengan tenang sebagai pengantar bunga. Ini jauh lebih baik dibandingkan harus mengulik dan menghadap ke belakang.

Bukan dendam, melainkan rasa bungkam ini kian menghantam ketika kenangan hitam kembali terbuka. Aku sudah ceria dan bahagia dengan kondisiku sekarang dan dia datang kembali.

Bukannya dia dulu yang sudah menuduhku seenaknya? Ah! Ayolah, lupakan semuanya!

Melupakan hanya meninggalkan beban. Ternyata itu benar adanya. Mulai sekarang kucoba mengikhlaskan dan berharap ada kedamaian setelahnya.

Kalimat yang tertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang