Cokelat dan mencekam *2

4.1K 525 33
                                    

~•000•~

  REY, alias Reiga adalah satu-satunya hal yang tersisa yang ditinggalkan ibu dunia ini. Usiaku saat itu 5 tahun, tidak lama setelah aku datang ke dunia ini ..., aku diusir. Hal yang paling lucu, ayah Violet dan suami ibu Violet mengusir istri dan dua anak kandungnya yang masih kecil, bahkan saat itu Reiga masih sebesar kucing—baru lahir, usianya mungkin masih hitungan jari, 2 bulan kupikir?

Itu adalah keputusan dengan alasan yang tolol, yang gak bisa aku terima dengan logikaku yang selalu berjalan. Ayah yang biasanya dingin, dan tidak peduli denganku dan selalu memasang wajah poker batu esnya, terlihat sangat peduli pada wanita berambut merah seperti cabai busuk, yang membawa anak seusiaku—kelihatannya lebih tua sih, kupikir aku salah tebak waktu itu.

Dia ..., tante-tante genit jelek yang sering ibu datangi bersamaku dulu. Teman makan teman, padahal ibuku sangatlah tulus padanya. Tapi dia seperti anjing yang menggigit orang yang memberi makan padanya,

aku membencinya, senyum cerahnya yang seolah-olah tidak salah apa-apa. Lalu penampilannya yang riang, kalau dia baik. Mungkin akan kupuji bahwa rambutnya cantik seperti permen gulali, aku cuma memplesetkannya jadi cabai busuk. Tapi ya sangat cocok dengannya, aku menghela napas kasar

"Brengsek, kenapa dihari sore yang cerah saat aku dapat aliran uang. Malah kepikiran mereka! Pengganggu kebahagian orang!"

Aku akan pulang setelah ke pasar sebentar untuk membeli cemilan cokelat, Reiga dan aku sangat menyukainya. Yah, bocah gempal itu juga menyalin kesukaanku.

***

"Iris hari ini mau cokelat yang mana?"

Iris ..., nama yang aku buat untuk samaran. Samar-samar ketika aku kehilangan ibu, saat usiaku 6 tahun. Violet asli datang padaku membuatku tercengang, bagaimana ada orang secantik dan seelegan dia? Hanya saja, mulutnya tidak sebagus penampilannya. Dia memberitahukan kepadaku, nama asliku dari dunia yang sebelumnya adalah Iris.

Berkat itu aku memakainya dengan baik, nama yang tak mungkin ada yang mengenalinya. Ini Iris yang berambut cokelat, berwarna mata sama dan berambut bob—tau? Potongan rambut mirip Dora—dengan poni yang cetar dan membahana.

"Aku mau yang seperti biasanya saja, Paman," aku kepikiran sesuatu, saat melihat bentuk cokelat bulat. Apa sekalian beli mainan saja untuk Reiga? Tapi ..., kalau mengikuti nafsu belanja, aku gak bakalan hemat. Sedang mencari uang sulit sekali, "paman, saya mau tanya. Mainan anak laki-laki memangnya harganya berapa?"

.

.

Aku terdiam sebentar, alias tercenggang mendengar harganya. Yang paling murah 3 perak! 3 perak, kalau beli bahan makanan untuk seminggu makan—itu aku hemat-hemat—membeli roti dapat 8 biji, beli mainan ..., ah, tidak perlu beli. Kalau beli nanti aku tidak bisa makan, uangku cuma sisa 6 perak, ini cukup untuk dua minggu hidup. Lain kali saja aku beli itu, ini gajiku yang susah payah kudapatkan setelah mengajar anak nakal selama satu minggu.

Aku menerima bungkusan cokelat, senang akhirnya bisa makan cemilan enak. Tapi sedih untuk ulang tahun bocah itu, aku gak bisa berikan apa-apa untuknya. Yah ..., menjadi miskin sangatlah tidak enak.

Kapan aku kaya ya?

***

Kaya ya, memikirkan perihal 'kaya' aku jadi teringat keluarga Castavior, lagi. Kepalaku tidak jauh-jauh dari sini, astaga. Lain kali sepertinya aku harus dapat pengusiran setan di kepalaku, melakukan itu di kuil seperti gratis kupikir? Entahlah, sudah lama aku tidak ke sana. Lagipula kuil Dewi Cahaya yang terbesar ada di ibukota, ini kan cuma daerah pinggiran.

Lebih-lebih, pinggiran desa ini ..., dekat dengan wilayah monster.

Kita kembali lagi kepada kekayaan dan keluarga Castavior, aku sebagai anaknya, darah dagingnya dan dilegitimasi serta lahir dari istrinya kenapa tidak kebagian satupun kekayaan? Emas satu batang juga tidak masalah, aku akan menerimanya dengan sepenuh hati. Aku anak yang mirip dengannya, bahkan menerima bagian wajah tak ramahnya ini terbuang. Setidaknya sebelum membuangku, bagikan aku biaya hidup!

Padahal aku anak keluarga Castavior, tapi tak mendapat apa-apa, malah kemiskinan yang melekat di hidupku. Padahal aku terlahir dengan sendok emas, berlian malah. Tapi sekarang akhirnya menjadi sendok kayu, lihatlah wahai Dewi Yves sang Dewi Cahaya yang agung, hambamu ini—yang kadang lalai ibadah—bajuku lusuh ya Dewi, berilah anak ini cipratan kekayaan sedikit saja.

Agar aku bisa membeli baju yang bagus, berfoya-foya—yah ..., ini sesat dan permintaan yang tidak masuk akal. Aku juga jarang masuk kuil karena sibuk mencari uang dan berlatih, dan mengurus bayi. Lagipula kalau ke Kuil aku harus punya modal persembahan, mau tertawa rasanya ..., makan saja susah apalagi untuk memberi persembahan.

"Kalau saja buku guru bisa kujual, pasti sudah aku jual. Maafkan muridmu yang cantik dan taat ini guru, ini untuk keberlangsungan hidup. "

Ah, aku harus cepat-cepat pulang!

Entah mengapa, dari sore hari yang cerah langitnya malah menjadi mendung. Sepertinya akan ada tumpahan air malam ini, aku harus cepat pulang. Tidak mungkin meninggalkan anak-anak terlalu lama sendirian, "reaksi apa yang aku dapat nanti, saat dia melihat aku bawa cokelat?"

Aku mau melihat Reiga yang imut menempel padaku seperti ulat, lalu tersenyum secerah masa depanku—yang sebenarnya abu-abu, sih.

***

Sayangnya hujan datang lebih dulu, diawali langsung besar tidak rintik-rintik kecil. Aku khawatir sekali, Reiga aku tinggalkan sendirian. Tadinya aku pikir tidak hujan, karenanya aku keluar lebih lama dan tidak membawa payung.

"Dingin juga," aku sedikit menggigil. Baju tipis, dan cuma dua helai saja—dalaman dan baju biasa. "Haruskah aku hajar saja hujannya? Tidak ada tanda-tanda mau berhenti."

Ctar!!

Petir ..., aku menelan salivaku beberapa kali. Dan mengernyitkan alis juga, aku menutup telingaku dan tubuhku seperti tersengat sesuatu, saat petirnya muncul. Aku tidak takut petir, ini respon biasa. Wajar saja, setiap orang seperti ini saat mendengar petir. Aku kepikiran kepada Reiga terus, aku melihat sekeliling.

Gelap.

Dan tidak ada orang yang berada di luar, sepertinya semuanya sedang bersembunyi di bawah selimut mereka, mencari kehangatan di antara udara yang dingin .... Juga mencekam.

"Mencekam?" mataku perlahan membesar, bodohnya aku cuaca begini adalah cuaca yang pas bagi monster bertipe 2 keluar dari persembunyian mereka. Pantas saja tidak ada yang menyalakan lampu, dan semua pintu ditutup dengan rapat—bahkan mungkin saja diganjal dengan sesuatu yang berat.
"Benar, semua gorden jendela juga tertutup rapat."

Aku harus cepat pulang, adikku sendirian dan aku takut dia menungguku dan membuka pintu rumah seperti orang bodoh.

Aku berlari, tidak mempedulikan hujan yang besar dan jalanan yang licin. Di pikiranku hanya satu, sampai rumah dengan cepat; "teleporta." Kuharap mantra ini segera berhasil, dan aku dipindahkan ke tempat yang aku mau dengan cepat.

Meski aku belum mahir menggunakan teleportasi, dan masih menggunakan cara panggilan manual. Setidaknya tolonglah semoga berhasil. Aku menggigit bibirku dengan kencang, saat mana-ku berkumpul dan terbentuk rune yang rumit di bawah kakiku. Perlahan dengan pasti, tubuhku melayang dan aku menghilang.

••00••

Will Change My Bad Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang