I

463 40 3
                                    

Selamat membaca...

.

.

.

[JYP University]

Sudah berjam-jam berlalu, awan hitam nan kelabu masih saja setia menyelimuti langit Seoul. Tidak secercah pun cahaya mentari dapat menembusnya. Meski begitu, tak jua satupun rintik hujan yang turun dan membasahi seluruh tanah di daratan ini. Hari ini benar-benar terlihat suram jika dilihat dari sudut manapun. Akan tetapi, suasana kelabu itu tidaklah mennyurutkan niat dan semangat beberapa orang untuk beraktivitas seperti biasa.

.

"Yien-ah—Kau masih disini?" suara ramah seorang pemuda tiba-tiba saja menghentikan Yien dari kegiatan mengetiknya.

"Hm—Sedikit lagi—" jawab pemuda yang dipanggil Yien itu.

SRETT

"Jika begitu—Aku akan menunggumu—Kita pulang bersama—" ujar pemuda yang satu lagi yang kini telah mendudukan dirinya tepat disebelah Yien.

"Terserah kau saja—" balas Yien acuh.

.

.

.

[Kediaman Keluarga Park]

Tidak seperti biasanya, dimana Yien akan selalu meminta pelayan untuk mengantarkan makan malamnya ke ruang baca yang ada dikediaman itu, malam ini sang ayah justru meminta pemuda itu untuk bergabung bersamanya dan yang lainnya diruang makan. Berkali-kali Yien menghela dan menghembuskan nafasnya dalam dan berat. Dengan rasa enggan yang begitu besar, Yien pun memaksakan kakinya untuk melangkah turun dari kamarnya menuju meja makan.

.

Disisi lain, Jinyoung yang mendengar permintaan sang ayah tampak begitu bahagia. Senyuman indah miliknya tidak henti-hentinya menghiasi wajah manis pemuda itu. Baginya, ini adalah kesempatan yang sangat langka untuk dapat menikmati makan malam bersama Yien, saudara tirinya. Hal ini dikarenakan Yien terlalu focus dengan tugas-tugas kuliahnya hingga tidak memiliki banyak waktu bersama dirinya, sang ibu dan juga ayah mereka.

.

.

Sudah lima belas menit berlalu, namun tidak ada suara yang terdengar mengisi keheningan yang jelas menyelimuti ruang makan tersebut. Keempat orang yang kini berada disana begitu sibuk dengan makanan yang ada dihadapan mereka, terutama Yien. Pemuda itu melahap makanannya dengan sangat cepat. Sepertinya pemuda itu hendak segera beranjak darisana.

.

"Aku selesai—" suara Yien yang setelahnya membuat ketiga orang disekitarnya mengangkat kepala mereka dan menatap tidak percaya pemuda itu.

"Cepat sekali—Apa kau mengunyah makananmu dengan benar?" ini suara Jinyoung seraya menatap heran kearah saudara tirinya itu.

Yien menoleh kesamping dan menatap malas sosok Jinyoung. "Tentu—" ujar pemuda itu dengan nada tidak bersahabatnya.

SREETTT

"Karena aku sudah selesai—Aku akan kembali mengerjakan tugasku—" ucap Yien lagi. Pemuda itu sudah berdiri dari duduknya dan bersiap memutar tubuhnya.

Sang ayah yang menyaksikan hal itu terlihat menghela nafasnya panjang. Sementara sang ibu, ia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan pelan.

"Yien-ah—Tidakkah kau bertanya-tanya kenapa ayah memintamu bergabung untuk makan malam?" suara sang ayah kemudian.

Yien menatap sebentar sosok sang ayah dan berkata, "Aku sama sekali tidak ingin tahu—Aku bergabung bersama kalian karena—" belum juga Yien menyelesaikan untaian kalimatnya, suara sang ibu dengan nada tegasnya menyentak pemuda itu.

"Yien—Duduklah—dan dengarkan ayahmu—" sela Ny. Park.

Sontak, Yien segera mendudukan dirinya. Walau begitu, raut tidak suka begitu jelas terlihat pada wajahnya.

Tuan Park yang sudah mendapati situasi telah tenang kembali segera menyampaikan hal yang ingin ia utarakan kepada kedua puteranya. Sebelum ia mulai berbicara, Tuan Park tampak menghembuskan nafasnya pendek.

"Hm—Maaf—Jika permintaan ayah membuat waktumu terbuang—" siapa sangka inilah kalimat awal yang meluncur dari mulut Tuan Park. "Sebenarnya—Ayah memiliki kabar gembira untuk keluarga ini—Ayah harap kau juga turut berbahagia mendengarnya—" sang ayah pun menghentikan ucapannya dan menatap sebentar Yien.

"Sebulan yang lalu, seorang pria muda yang merupakan salah seorang kolega mendatangi ayah—Pria itu mengatakan kepada ayah jika ia ingin melamar Jinyoung—" lanjut tuan Park.

DEG

Jinyoung yang mendengar namanya disebut terlihat membolakan matanya, menatap tidak percaya sang ayah. Didalam benak pemuda itu, bagaimana bisa seorang pria justru melamar seorang pria pula. Tidakkah ini sangat tidak wajar? Terlebih lagi, kenapa harus dirinya.

Seolah mengerti akan ekspresi yang dialamatkan sang putera padanya, tuan Park pun segera menyambung kalimatnya yang rupanya belumlah selesai. "Dia memang melamarmu—Tapi, ayah tidak langsung menyetujui keinginannya—Ayah memintanya untuk bertanya langsung padamu, Jinyoungie—".

Satu helaan nafas lega pun segera dilepaakan oleh Jinyoung.

"Besok—Dia akan berkunjung kemari—" tambah sang ayah lagi yang tidak lama kemudian disambut dengan sebuah OH lebar dari Jinyoung.

.

"Apakah ayah masih memiliki kabar bahagia lainnya?" suara Yien yang tanpa ia sadari justru merusak suasana bahagia milik kedua orang tuanya.

Sang ibupun segera melayangkan tatapan tidak sukanya pada Yien.

"Kau tidak ingin mengucapkan selamat pada saudaramu?" ini suara sang ayah dengan nada ramahnya.

"Ayah—Aku bahkan belum—" baiklah ini suara Jinyoung yang sedikit malu.

"Selamat—" potong Yien cepat sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan tersebut dan kembali pada dunianya.

.

.

.

Bersambung...

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang