Julia melihat foto-foto kematian para korban pembunuhan mutilasi. Korban-korban itu memiliki kecocokan dengan masa lalu Kay. Motifnya jelas, bahwa Kay dendam terhadap ayahnya. Hanya saja, dia melampiaskan rasa dendamnya terhadap pria-pria bermasalah yang seusia ayahnya.
"Tapi, bagaimana ia bisa begitu rapi menyembunyikan sidik jari. Dan mengenai peristiwa Ronggowarsito, bagaimana Kay bisa menggantung mayat politisi itu tanpa meninggalkan jejak sidik jari?" tanya Julia pada tim detektif pimpinan Detektif Osa.
"Apakah menurutmu, Kay dibantu oleh seseorang?" Detektif Osa balik bertanya.
Julia tampak berpikir keras. "Ah, aku ingat! Osa, kau pernah bilang padaku, pelaku meninggalkan kode di TKP, kan?"
Osa mengangguk. Ia segera mengambil beberapa foto koban pembunuhan. Mulai foto pembunuhan Ronggowarsito, sampai pembunuhan terakhir.
Julia mengamati kode-kode yang tertera di foto-foto itu. "Tiga-lima-enam-tiga-dua-satu. Katamu, dua satu itu menunjukkan jam pembunuhan, kan?" tanya Julia.
"Benar. Hanya saja, empat angka di depan angka dua dan satu masih belum kutemukan artinya sekarang."
"Izinkan aku memecahkan kode-kode ini. Rapat selesai," kata Julia sambil berjalan pergi membawa foto-foto itu.
Di ruangannya, Julia mulai menuliskan kemungkinan-kemungkinan kode-kode yang diberikan Kay. Ia mengutak atik angka-angka itu, sambil sesekali melihat foto-foto korban untuk menemukan petunjuk.
"Apa ini?" gumam Julia sambil membandingkan tiga foto yang dipegangnya. "Tulisan-tulisan ini...."
Julia segera menulis kode-kode itu dan mengutak-atiknya lagi. Butuh waktu satu jam untuk memecahkan kode-kode itu.
"Ketemu!" seru Julia. Julia mengambil ponsel di mejanya dan menghubungi Detektif Osa. Ia ingin segera mengadakan rapat darurat.
Detektif Osa dan timnya bergegas ke ruang rapat. Julia sudah menunggu di sana. Wajahnya semringah. "Sedikit lagi, kasus ini akan terpecahkan!" gumam Julia.
"Hai Julia," sapa Detektif Osa. "Apakah kau sudah menemukan petunjuk?"
"Ya, duduklah. Aku akan menjelaskan pada kalian." Julia mengambil posisi tepat di depan Detektif Osa dan anak buahnya.
"Bisakah kau jelaskan pada kami, apa yang kau temukan?" tanya Benito, anak buah Osa.
"Kalian lihat di sini. Ini adalah kode-kode kematian yang sama. Ada enam angka, yaitu tiga-lima-enam-tiga-dua-satu. Sebelum aku jelaskan lebih lanjut, bisakah kalian melihat perbedaan-perbedaan yang ada di foto-foto ini?"
Detektif Osa dan anak buahnya mengamati foto-foto itu. "Tulisan!" seru Osa.
"Yap, tepat! Tulisan! Lihat ketiga foto ini, bukankah ini tulisan tangan yang berbeda? Lihatlah cara mereka membuat angka. Berbeda bukan? Aku rasa, Kay tidak dibantu oleh seseorang, tetapi tiga orang. Mereka bertindak sebagai eksekutor, dan Kay sebagai otak atau dalang pembunuhan. Kode di belakang angka enam, adalah angka tiga, yang menunjukkan bahwa eksekutor pembunuhan berjumlah tiga orang, tidak termasuk Kay." Julia menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, bagaimana dengan angka tiga-lima-enam?" tanya Detektif Osa.
"Menurutmu, apakah itu bisa mengacu kepada si otak pembunuhan?" Julia bertanya balik.
"Tunggu! Jadi, tiga angka di depan adalah Kay?" Osa masih tidak mengerti, bagaimana ketiga angka itu menggambarkan seorang Kay.
Julia mengangguk. "Kayla Zee Moreno. Nama panggilan kecilnya adalah Kay. Angka tiga di depan menggambarkan jumlah huruf. Lalu, jika angka lima dan enam dijumlahkan, hasilnya adalah sebelas. Huruf "K" pada abjad, adalah huruf kesebelas. Intinya, Kay adalah dalang dari semua pembunuhan berantai, juga penyiksaan Pak Budi. Sedangkan dia dibantu dengan tiga eksekutor yang melakukan pembunuhan itu tiap jam sembilan malam."
"Jadi menurutmu, siapa eksekutornya?" Detektif Osa kembali menyelidik.
"Aku belum tahu. Kita harus menangkap Kay terlebih dahulu," jawab Julia.
Julia, Detektif Osa, dan anak buah mereka menyusun sebuah rencana untuk menangkap Kay. Osa ingat, ia pernah bertemu dengan Kay di kafe dekat kantor polisi. Mereka pun berencana bertemu dengan Kay di kafe itu.
***
Mata Kay terpejam. Ia tertidur di sofa yang terletak di ruang bawah tanah. Bayangan kematian ibunya terlintas kembali.Peristiwa-peristiwa masa lalunya memenuhi otaknya. Mulai penyiksaan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya, sampai hari kematian ibunya. Semua terekam jelas dalam mimpinya.
"Ibu...Ibu...Ibuuuuuuuu!" Kay berteriak. Ia terbangun. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Tangannya dingin dan tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat pasi. Cepat-cepat ia mengambil sebotol air dan meminumnya.
Drrrttt...drrrttt...ponsel Kay bergetar. Seorang laki-laki yang dikenalnya menghubunginya.
"Halo," sapa Kay.
"Halo. Kay, kamu harus berhati-hati. Polisi hampir menemukanmu. Julia, profiler itu, dia berhasil memecahkan kode kita. Dia tahu kita melakukan pembunuhan berempat."
"Ah, baiklah. Izinkan aku berpikir dulu," ucap Kay mencoba menenangkan dirinya.
"Kay, mereka berencana bertemu dengan Pak Budi di rumah sakit, besok. Mereka akan meminta kesaksian dari Pak Budi untuk menangkapmu. Setelah bertemu Pak Budi, mereka akan menangkapmu di kafe seberang kantor polisi. Hati-hati!"
"Thank for your information, Guy. Kalau aku tertangkap, kalian bertiga harus menemukan Ayahku dan membunuhnya. Mengerti?"
"Nggak usah khawatir, Kay. Serahkan pada kami," jawab seseorang di seberang.
Kay segera bertindak. Ia menelepon Leon, kepala forensik yang dua tahun lalu memeriksa kondisi Ronggowarsito setelah kematiannya*.
"Leon, di mana kamu sekarang?" tanya Kay.
"Aku di rumah sakit, Kay. Shift malam. Ada apa?"
"Besok pagi, polisi berencana menemui Pak Budi untuk memberi kesaksian tentang aku. Setelah itu, mereka akan menangkapku. Aku yakin, mereka juga mencari kalian. Jadi, aku harap kau bisa mengatasi Pak Budi," pinta Kay.
"Serahkan padaku, Kay," jawab Leon.
Leon berganti pakaian. Ia memakai pakaian dokter dan masker. Tak lupa sarung tangan agar sidik jari tak menempel. Pria itu mengambil sebuah pisau kecil dan suntikan berisi obat bius, lalu menyembunyikannya di balik jas putihnya.
Leon berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Sebelumnya, ia meminta Boy--seorang pria cerdas yang berbakat di bidang IT--untuk mematikan semua sistem CCTV. Boy bekerja cepat.
Cklek. Pintu kamar Pak Budi terbuka. Leon menghampiri Pak Budi yang sedang tertidur lelap. Ia menyuntik Pak Budi dengan obat bius yang dibawanya dan menancapkan pisaunya tepat di jantung Pak Budi. Pak Budi pun tewas seketika.
Leon membersihkan diri di toilet kamar Pak Budi. Ia berusaha menghilangkan jejak pembunuhannya.
Di toilet itu--di balik tembok--ada sebuah tempat kecil yang tak terlihat oleh orang lain. Leon menyembunyikan barang bukti pembunuhannya di tempat itu.
Beberapa tahun lalu, Leon remaja pernah dirawat di rumah sakit tempatnya bekerja saat ini. Ia di rawat di kamar yang ditempati oleh Pak Budi. Saat itu, ketika ia sedang mandi, ia mendapati keanehan di tembok yang kini ada di hadapannya itu.
Leon remaja pun penasaran. Dengan berbagai cara, ia membuka tembok itu. Alangkah terkejutnya ia, ketika mendapati ada sebuah rahasia besar di balik tembok berwarna putih di kamar 83 itu.
***
Kriiiiinnnggg...! Kriiiiinnnggg...!Telepon kantor polisi berbunyi. Steve mengangkat telepon itu."Halo. Apa! Baik, terima kasih infonya." Steve panik. Ia segera berlari ke ruangan Julia.
"Ada apa, Steve? Kau terlihat panik." Julia terlihat tenang.
"Lapor, Bu. Pak Budi ditemukan meninggal di kamarnya," ucap Steve.
"Apa?!" Julia terkejut. Ia berdiri dan mengatur nafasnya yang mulai tersengal-sengal. "Pasti...Kay."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAY
Mystery / ThrillerKay adalah seorang perempuan 20 tahun yang cantik dan bermata indah. Banyak pria yang ingin menjadi kekasihnya. Namun Kay tidak sembarangan memilih laki-laki. Ia suka pria yang usianya jauh di atasnya, terutama yang sedang tidak harmonis dengan istr...