5 Juli 2005 pukul 07.00
Pagi itu--seperti biasa--Kay bersiap untuk bersekolah. Tiba-tiba ia mendengar suara piring yang pecah. Kay terkejut bukan main. Ia mengintip dari balik pintu. Moreno, ayahnya sedang menampar ibunya.
Kay ingin berteriak. Tetapi ia menahan mulutnya dengan tangannya. Berharap ayahnya tak melihatnya mengintip. Kay takut, jika terlihat, ayahnya pasti akan membunuhnya.
Brak. Pintu rumah ditutup sekuat tenaga. Kay berjalan menghampiri ibunya yang tergeletak di lantai dengan tubuh yang penuh luka.
"Bu...." panggil Kay.
"K-Kay," balas ibunya terbata-bata sambil mengulurkan tangannya. "T-tolong a-ambilkan ibu m-minum."
Kay beranjak dari hadapan ibunya. Ia berlari ke dapur, mengambil segelas air putih.
"Minum, Bu." Kay menyodorkan gelas berisi air yang dibawanya. "Bu, ayo ke kamar. Kay obati, ya." Kay menangis. Ia mengulurkan tangannya, membantu ibunya berdiri.
Sekuat tenaga Clara, ibu Kay, berjalan menuju kamarnya. Kay pun berusaha sekuat tenaga memapah ibunya. Ia membaringkan ibunya di ranjang dan merawat luka-lukanya.
"Kay, kamu nggak sekolah?" tanya ibu Kay.
Kay menggeleng. Gadis kecil itu sedih harus melihat keadaan ibunya yang seperti ini. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat ibunya sampai roboh tak berdaya.
"Kay, kamu harus sekolah. Kelak kamu akan jadi orang hebat seperti ibu. Kamu berangkat, ya."
Kay masih enggan meninggalkan ibunya. Tetapi karena ibunya terus mendesak, akhirnya Kay berangkat juga.
Kay sampai juga di sekolah. Selama pelajaran berlangsung, pikiran Kay tak tenang. Ia takut jika ibunya mati dibunuh oleh ayahnya.
"Bu, Kay ingin pulang," kata Kay kepada wali kelasnya sambil menangis.
"Kenapa, Kay? Ada apa?" tanya Bu Rissa, wali kelas Kay.
"Ibu...." Tangis Kay semakin tak tertahankan. Hatinya pedih. Ia sangat benci kepada ayahnya.
Bu Rissa memeluk Kay. "Kay, bisa ceritakan apa yang terjadi?"
Kay menceritakan kejadian sebelum ia berangkat ke sekolah. Ia menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya. Tidak hanya sekali dua kali, tetapi hampir setiap hari sejak ibunya mengandung--setidaknya itulah yang diceritakan ibu Kay.
"Baik, Kayla. Kamu bisa pulang sekarang. Ibu antar. Sekalian mau lihat kondisi ibumu."
Kay mengangguk. Ia pergi ke kelasnya dan mengambil tas berwarna pink yang tergeletak di atas meja. Bu Rissa segera menyalakan mesin motornya dan membonceng Kay.
Pukul 11.15
Kay dan Bu Rissa telah sampai. Gadis kecil itu segera berlari ke kamar ibunya dan mendapati ibunya tertidur pulas. Kay tidak menyadari, bahwa ibunya sudah tewas. Bu Rissa menengok ke arah kamar. Ada sesuatu yang janggal pada tubuh Clara, ibu Kay.
"Bu Rissa, sepertinya Ibu saya sedang tidur. Terima kasih sudah mengantar saya ya, Bu," kata gadis kecil berusia tujuh tahun itu.
"Iya, Kay. Kalau ada apa-apa, hubungi Ibu ya. Ini nomor telepon Ibu," kata Bu Rissa sambil menulis nomor teleponnya pada secarik kertas dan menyodorkannya pada Kay.
Kay mengangguk. "Ya, Bu."
"Ibu pulang dulu. Sering-seringlah menjenguk ibumu."
Kay mengantarkan Bu Rissa hingga ke depan pintu rumahnya. Lalu ia menuju ke dapur. Hanya ada telur yang berjejer di rak lemari es-nya. Kay memasak telur itu, juga nasi. Sejak kecil, ibunya melatih Kay mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kata ibu Kay, untuk berjaga-jaga jika suatu saat ibunya sakit atau mati. Kay menurut.
Meskipun kaya, keluarga kecil ini tak pernah memiliki asisten rumah tangga. Sedari belia, Clara dilatih mandiri oleh orang tuanya. Oleh karena itulah, dia tumbuh menjadi wanita yang kuat dan memiliki life skill yang bagus. Clara pun mendidik Kay seperti orang tuanya mendidiknya. Kay mendapat kasih sayang penuh dari Clara.
Berbeda 180 derajat. Moreno dibesarkan dari keluarga kaya raya dan berkuasa. Sejak kecil, ia selalu mendapat apa yang diinginkannya. Itulah mengapa Moreno tumbuh menjadi manusia yang tidak berguna, dan menjadi toxic.
Moreno menjadi orang yang egois, semaunya sendiri, dan selalu menganggap orang lain tidak lebih tinggi darinya. Sejak kecil, Moreno selalu menyaksikan ayahnya melakukan kekerasan pada ibunya. Itulah mengapa ia juga melakukan hal yang sama pada wanita-wanita yang menjadi istrinya. Figur ayah yang sayang pada wanita tak didapatnya.
Pukul 17.30
Kay mendengar mobil ayahnya datang. Kay kecil, yang ingin membangunkan ibunya, akhirnya memilih untuk bersembunyi di balik pintu kamarnya. Ia berharap ayahnya tak mencarinya.
Moreno memasuki rumah dan menuju kamar Clara. Ia mendapati tubuh Clara sudah dingin dan pucat. Diletakkannya jari telunjuk di depan hidung Clara. "Clara...." Dipanggilnya Clara pelan.
Clara tak bergerak. Digoyangkannya tubuh Clara, tetapi tetap diam. Kay mengintip dari balik pintu kamarnya yang letaknya lurus dengan kamar ibunya.
Moreno menyadari kesalahannya. Pagi tadi, ia melempar Clara dengan kursi kayu. Clara terluka parah. Seumur hidup ia menyiksa Clara, baru kali ini Clara sampai tak bisa bangun.
Moreno panik. Ia bingung harus melakukan apa untuk menutupi jejaknya. Hingga ia terpikir untuk membuat Clara seperti bunuh diri.
Ia pun mengambil sebilah pisau daging dan memotong jari manis Clara. Moreno tidak menyadari, bahwa cincin pernikahannya terjatuh.
Moreno pergi ke gudang, dan mengambil tali serta kursi, lalu menggantung Clara di kamarnya. Membuatnya seolah-olah bunuh diri. Moreno tak menyadari, ada sepasang mata yang mengawasinya sejak tadi.
Di dalam kamarnya, tubuh Kay bergetar hebat, nafasnya tersengal-sengal, tiba-tiba ia merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Ia syok berat ketika melihat ibunya dibunuh di hadapan matanya. Bahkan Kay tak bisa menangis.
Pukul 19.30
Moreno meninggalkan rumah setelah membersihkan diri. Tidak sedikitpun terpikirkan, bahwa Kay ada di rumahnya. Kay membuka pintu kamarnya. Ia berjalan menuju kamar ibunya.
Kay menangis histeris. Bocah tujuh tahun itu tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya menangis di hadapan mayat ibunya yang tergantung.
"Ibuuuuuu... Ibuuuuuu... Huuuuuu...."
Kay tak berpindah sedikitpun dari posisinya. Ia terus menangis tanpa henti. Ia tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa. Tetangga kanan kirinya bahkan tidak ada yang mendengarnya, atau memang berpura-pura tidak mendengar.
Keluarga Kay memang tinggal di sebuah perumahan elit. Di mana tetangga kanan kiri tidak ada yang saling mengenal. Maka tak heran, jika Kay harus menanggung kehidupannya seorang diri.
Pukul 20.00
Kay mencoba menenangkan diri. Ia berjalan menyusuri kamar itu. Ditemukannya sebuah cincin pernikahan ibunya. Ia segera mengambil cincin itu dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Malam itu, Kay bertekad akan pergi ke kantor polisi dan melaporkan keadaan ibunya. Kay teringat, ia pernah menyimpan nomor telepon Bu Rissa. Kay mengambil ponsel ibunya, dan menelepon Bu Rissa.
"Bu Rissa." Suara Kay parau.
"Siapa ini?"
"K-Kay," ujar Kay dengan sedikit tergagap, menahan tangisnya.
"Kay. Kamu kenapa? Kamu nangis?"
"Ibu...ibu meninggal, Bu. Huuuuuu." Tangis Kay pecah.
Bu Rissa tak kuasa menahan tangis. Sejak mengantar Kay pulang, ia sudah menyadari bahwa ibu Kay sudah meninggal.
"Ibu berangkat ke rumahmu. Tolong jangan ke mana-mana. Tunggu Ibu, Kay."
Bu Rissa segera menyalakan mesin mobilnya dan mengemudikannya dengan cepat. Ia tak akan pernah menyangka, apa yang akan dilihatnya nanti di rumah Kay.
-To be continued-
*Khusus part ini akan dibagi dua part yaa..biar gak bosen bacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAY
Gizem / GerilimKay adalah seorang perempuan 20 tahun yang cantik dan bermata indah. Banyak pria yang ingin menjadi kekasihnya. Namun Kay tidak sembarangan memilih laki-laki. Ia suka pria yang usianya jauh di atasnya, terutama yang sedang tidak harmonis dengan istr...