Cincin

45 10 4
                                    

Mayat Ronggowarsito masih tergeletak di kamar itu. Detektif Osa memeriksa kondisi mayat secara menyeluruh. Osa tidak yakin jika Ronggowarsito bunuh diri.

"Apa ini?!" ucap Osa sambil memungut sebuah benda berbentuk lingkaran yang pipih. "Cincin ini...."

Osa memeriksa tubuh korban. Pandangannya tertuju pada jari jemari tangan kanan Ronggowarsito. "Di mana...jari manisnya?!"

Osa memeriksa tangan bekas jari yang telah terputus itu. Darahnya sudah mulai membeku, meski ada sedikit yang masih cair. Bekas potongan jari itu begitu rapi. Tidak seperti asal-asalan memotong. Seolah menunjukkan bahwa si pembunuh sudah terbiasa melakukannya, atau bisa jadi, ia memakai pisau khusus.

"Detektif Osa," panggil Leon, kepala forensik.

Detektif Osa berdiri, menyambut Leon. Setelah berbasa-basi sedikit, Osa mengungkapkan kebingungannya. "Pak Leon, ada petunjuk yang terlewat. Bisakah Anda bantu saya untuk mencari penyebab kematian korban? Apakah kehabisan darah, ataukah ada hal lain?"

"Jangan kuatir, Detektif. Serahkan pada saya."

Leon pun membawa mayat korban ke laboratoriumnya. Ia mulai membuka baju mayat Ronggowarsito. Tidak ada luka, lebam, atau sejenisnya. Bersih.

Lalu ia memeriksa hidung dan mulut korban. Ada partikel-partikel kecil menyerupai debu, yang berasal dari kain.

"Apa ini? Ini debu apa?" tanya Leon pada dirinya sendiri.

Leon meneliti kembali. Pria tiga  puluh enam tahun itu akhirnya menemukan sebuah kenyataan, bahwa korban dibekap dengan bantal hingga mati, sebelum jarinya dipotong.

"Halo."

"Halo. Gimana Leon? Ada petunjuk?" tanya Osa berharap.

"Sa, kamu balik ke kamar hotel, sekarang! Aku menemukan petunjuk, di hidung dan mulut korban terdapat partikel kecil yang sembilan puluh delapan persen cocok dengan bantal di kamar itu. Dengan kata lain, korban meninggal karena dibekap, bukan karena kehabisan darah."

"Oke. Aku berangkat sekarang!"

Osa segera keluar dari rumahnya dan mengendarai mobilnya secepat kilat. Tak sampai tiga puluh menit, ia telah berada di kamar yang sudah dipasangi police line itu.

Ia berjalan menuju kasur besar di hadapannya. Berharap dapat menemukan sidik jari di bantal yang dimaksud.

Osa mengambil alat untuk mencari sidik jari yang ia bawa dari kantornya. Ditaburnya bubuk pencari sidik jari itu. Bersih.

"Ini aneh. Harusnya ada sidik jari pelaku yang tertinggal di sini. Mungkin di bantal satunya."

Osa beralih ke bantal yang terletak di ujung kanan kasur. Ia tidak menemukan apapun.

"Apa yang terjadi? Apakah seseorang menyusup ke kamar ini untuk mengganti sprei? Kalau benar, berarti salah satu pegawai hotel ini patut dicurigai," gumam Osa.

Osa keluar dari kamar itu. Ia segera pulang dan beranjak ke kamarnya. Dibukanya sebuah tirai yang di dalamnya berisi analisis pelaku dan korban.

"Siapa kamu? Mengapa kamu begitu pintar? Bahkan di tali untuk menggantung diri pun, tak ada bekas sidik jari. Siapa kamu sebenarnya?"

***
Kay sedang berada di depan lemari kacanya. Ia mengambil kotak berisi jari manis Ronggowarsito. Perempuan muda itu tersenyum.

"Hah, kau pikir kau hebat wahai laki-laki mata keranjang! Kau hanya laki-laki bodoh yang dipenuhi hawa nafsu!" gumam Kay.

Kay mengarahkan pandangannya pada ruang di sekelilingnya. Ia mengambil ponsel dan menghubungi sebuah nomor tanpa nama.

"Halo," sapa suara di seberang.

"Halo. Hai, terima kasih telah membantuku membunuh pria kurang ajar itu! Maukah kau...membantuku lagi?" tanya Kay.

"Apakah kamu ingin membuat drama seperti yang kemarin?"

"Ya. Tolong carikan aku temanmu. Seorang pria mata keranjang, yang terus menyakiti istrinya. Aku akan membalaskan dendam istrinya kepada mereka!"

"Serahkan padaku! Nama-nama itu akan kukirim lewat PC."

"Baik. Kutunggu kabar baiknya."

Tak berapa lama, beberapa nama pria yang dimaksud Kay muncul di hadapannya, beserta informasi profil. Kay rupanya tak puas jika harus mengulangi strategi pembunuhan seperti pembunuhan Ronggowarsito. Ia harus menyusun rencana dengan baik.

Kay membelalakkan matanya. Sebuah nama yang tidak asing, muncul di layar monitor.

"Ini...seperti...Ayah."

Tubuh Kay bergetar hebat. Ia berharap itu bukan nama dan foto ayahnya. Tapi foto itu sangat mirip. Ah, ayahnya sudah menjadi orang sukses dan memiliki keluarga baru rupanya.

Kay meremas gawai yang dipegangnya. Ia harus memastikan, apakah benar, bahwa profil pria di hadapannya ini adalah ayahnya. Jika memang benar, maka ia harus memiliki rencana lain.

Sejak ibunya meninggal, ayah Kay tidak pernah kembali. Entah di mana. Meskipun Kay yakin, ayahnya tidak jauh.

Kay kecil yang saat itu hanya memiliki cincin ibunya sebagai barang bukti, tidak dipercaya oleh orang-orang di kepolisian. Bahkan, mereka tidak mau sekedar memeriksa mayat yang masih tergantung di rumahnya.

Sampai seorang detektif veteran, percaya kepada Kay. Ia pun berangkat ke rumah Kay dan membantu menurunkan mayat, juga berjanji untuk menyelidiki kasus ibunya.

Kay senang, karena pada akhirnya, ada yang percaya padanya. Tetapi kebahagiaannya tidak lama. Dalam misi menuntaskan kasus pembunuhan ibunya, detektif veteran itu meninggal karena ditabrak oleh sebuah mobil misterius yang sampai sekarang tidak diketahui asal usulnya. Jadilah kedua kasus itu ditutup tanpa adanya perlawanan. Yaitu kasus kematian ibu Kay, dan kasus kematian detektif veteran itu. Entah, siapa dalang di balik kedua kasus itu.

Kay sempat hidup terlunta-lunta tanpa kejelasan. Hingga ia dipertemukan dengan seseorang dari panti asuhan.

Di panti asuhan itu, Kay berubah. Sifat aslinya terlihat. Ia suka membunuh katak, tikus, kucing, atau binatang apapun yang ditemuinya. Lalu ia memotong-motong binatang itu menjadi beberapa bagian. Ia puas, ketika melihat binatang itu mati dengan kondisi tidak utuh.

Ia bahkan tak memiliki rasa empati. Suatu ketika, salah seorang temannya di panti asuhan terjatuh dari ayunan sampai tak bisa berjalan. Kay, saksi mata saat itu, tak mau menolong. Ia hanya melihat, lalu pergi.

Seorang pengasuh di panti asuhan menyadari, ada yang aneh dalam diri Kay. Ia pun membujuk Kay, supaya mau mendatangi psikiater.

Kay menurut. Mereka pergi ke psikiater. Hasilnya, ada gejala yang mengarah ke psikopat dalam diri Kay. Dia harus rajin datang ke psikiater jika tidak mau semakin parah.

Apa daya, karena keterbatasan biaya, Kay dibiarkan begitu saja, hingga menjadi seperti sekarang. Trauma masa kecil yang bertubi-tubi, membuatnya sulit untuk melepaskan diri dari gangguan perilakunya itu.

***
"Hai, Kay, sudah siap untuk kabur?" tanya seorang pria berusia dua puluh tahunan.

"Sudah. Ayuk," ajak Kay.

Kay memasuki mobil berwarna merah mencolok itu. Lalu ia mengambil gawai di dalam tasnya. Disentuhnya aplikasi hijau, dan ia mengirim pesan kepada seseorang.

Kay: [Dua tahun lagi, aku akan kembali]

Kay menekan tombol panah. Pesan itu terkirim. Centang dua, dan centang itu berubah menjadi biru. Seseorang mengetik pesan balasan.

Xx: [Aku tunggu korbanmu selanjutnya]

Nb: Maaf baru update sekarang yaa. Tunggu episode Kay selanjutnya. Jangan lupa follow dan kasih bintang..biar makin semangat..terima kasih

KAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang