Kode Kematian

29 10 11
                                    

Dua bulan ini, sebuah kota kecil di ributkan dengan peristiwa pembunuhan berantai. Ada sebuah tanda baru dalam pembunuhan berantai ini. Yaitu terpotongnya jari manis sebelah kanan, dan sebuah pesan kematian berupa kode.

Polisi mensinyalir, pelaku pembunuhan ini sama dengan pelaku pembunuhan Ronggowarsito, dua tahun lalu.

Dua tahun yang lalu, seorang politikus yang terkenal karena sensasinya, ditemukan tewas tergantung, dengan jari manis tangan kanan terpotong rapi. Di dalam kamar tempat ditemukannya mayat, tidak ditemukan adanya barang bukti apapun, kecuali cincin pernikahan Ronggowarsito. Kasus itu kemudian tidak dilanjutkan karena kekurangan bukti dan kurangnya saksi.

Hari ini, seorang lelaki berusia empat puluh tahunan ditemukan tewas di dalam kamar hotel, dengan jari manis yang terpotong rapi. Kasus ini sama persis dengan kasus Ronggowarsito. Bedanya, kali ini tidak ditemukan barang bukti berupa cincin pernikahan. Hanya kode angka dari darah korban, dan diduga ditulis.oleh si pelaku.

Pembunuhan ini juga meningkat. Jika sebelumnya pelaku hanya memutilasi jari manis korban, kini-sudah tiga korban terakhir-ditemukan tewas dengan tubuh yang.teepotong-potong menjadi beberapa bagian.

Meskipun begitu, tubuh-tubuh yang terpotong itu dibiarkan begitu saja oleh pembunuh. Hanya jari manis korban yang diambil.

"Tiga-lima-enam-tiga-dua-satu. Kode apa ini?" ujar Detektif Osa.

"Osa, sedang apa kamu?" tanya Joe, si IT canggih, yang jago menemukan tersangka dengan kecerdasan otaknya.

"Joe, aku yakin. Tujuh pembunuhan berantai selama dua bulan ini dilakukan oleh orang yang sama. Dia orang yang sama yang membunuh Ronggowarsito dua tahun yang lalu."

"Mengapa kamu begitu yakin?"

"Sebab potongan jari manis itu mirip dengan potongan jari manis Ronggowarsito. Hanya saja...kali ini si pembunuh meninggalkan petunjuk berupa kode. Juga...pembunuhan ini sangat rapi. Tak sedikit pun meninggalkan sidik jari. Anehnya, potongan-potongan tubuh itu tidak dibuang atau dimasukkan dalam koper, tetapi dibiarkan di tempatnya. Hanya jari manis sebelah kanan yang hilang."

"Bisa jadi jari manis itu sebagai "piala" buat pelaku. By the way, bisa aku lihat kodenya?"

"Ini." Osa menyerahkan kode-kode angka yang sudah difotonya dari tempat kejadian perkara.

Dari beberapa foto itu terlihat sebuah tulisan berupa kode angka dari darah. Tulisan itu bukan sebuah tulisan tangan, juga bukan dari sebuah benda yang tajam.

"Ini seperti...tulisan dengan kuas," kata Joe. "Perhatikan beberapa kode angka ini. Bentuknya seperti kuas yang disapukan. Memiliki tekstur yang panjang dan rapi. Berbeda jika ditulis dengan tangan. Tulisan ini adalah tulisan si pelaku, tidak mungkin tulisan korban."

Joe mengamati kode-kode angka itu. "Benar katamu, Joe. Jika itu tulisan korban yang memberi petunjuk, mana mungkin kode-kode itu bisa begitu mirip dan rapi. Apalagi jika ditulis oleh jari. Tapi...apa maksud kode-kode ini?"

Joe dan Osa tampak berpikir keras memecahkan kode-kode angka di hadapannya. "Joe, ayo ikut aku! Aku harus memastikan sesuatu!"

Joe pun mengikuti Osa. Mereka segera meninggalkan kantor polisi dan menuju ke sebuah kamar hotel, tempat mayat ditemukan.

Tak berapa lama, mereka sampai di kamar 253. Mereka terkejut, karena kamar itu-meskipun masih terpasang police line-tetapi sudah bersih. Barang bukti berupa kode angka dari darah yang ada lantai, juga sudah tidak ada lagi.

"Siapa...siapa yang menghapus barang bukti ini?" tanya Joe.

"Ada seseorang, entah dari kepolisian, ataukah orang hotel ini, ataukah siapapun. Yang jelas dia orang yang diutus dalangnya, untuk menghapus jejak. Juga, dia yang membantu dalangnya melakukan pembunuhan terhadap tujuh pria selama dua bulan ini. Kita harus segera memecahkan kode-kode itu, Joe!"

****
Sementara itu, Kay menikmati secangkir es kopi rhum di hadapannya.

Drrrttt...drrrttt...ponsel Kay bergetar. Kay menerima telepon itu.

"Halo," sapa Kay.

"Hai, Kay. Misi kita berhasil. Aku meninggalkan sebuah petunjuk untuk dipecahkan polisi. Aku melihat, detektif yang kamu maksud itu sudah mengambil gambar-gambarnya. Aku berharap, kamu segera mendapat info tentang ayahmu, Kay."

"Terima kasih. Kamu, baik-baiklah. Jangan sampai penyamaranmu terbongkar."

"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Bye." Klik. Tuuuuttt...tuuuuttt...tuuutt. Telepon terputus. Kay tersenyum penuh kemenangan.

Drrrttt... drrrttt....Ponsel Kay bergetar lagi. Kali ini dari seseorang yang berbeda.

"Halo, Kay," kata seseorang di seberang.

"Hai. Apa yang kamu dapatkan?"

"Aku melacak GPS ayahmu, dan dia sedang berada di dekatmu sekarang."

"Are you sure?"

"Yes, I am sure. Tunggu beberapa menit lagi. Dia akan sampai di hadapanmu, Kay."

Tuuuuttt..tuuuuttt....Kini Kay diliputi rasa gelisah. Meskipun sudah bertahun-tahun dia tak bertemu ayahnya, tetapi ia tak akan pernah lupa sifat buruk ayahnya.

"Selamat datang," sapa wanita bertubuh ramping yang menjaga pintu masuk kafe.

Kay terbelalak. Yang dikatakan temannya itu benar. Ayah Kay tak jauh dari situ. Apa yang dilakukan Ayah di sini? tanya Kay dalam hati.

Kay memantau ayahnya dari jauh. Ia sengaja berpindah tempat ke sebuah sofa di belakang pembatas kafe. Pembatas itu terletak lurus dengan pintu masuk dan Kay bisa melihat ayahnya dengan jelas.

Tubuh Kay bergetar hebat. Sejak ibunya meninggal, Kay merasa tidak normal. Tubuhnya selalu bergetar ketika seseorang menyebut ayahnya. Bahkan getaran tubuhnya semakin tak terkendali ketika berhadapan dengan ayahnya.

Suatu saat, ia pernah memeriksakan diri ke dokter syaraf. Dokter itu tak menemukan penyakit apapun dalam tubuh Kay. Kay pun disarankan ke psikiater, karena dokter itu curiga jika Kay mengalami sebuah trauma yang hebat semasa kecilnya.

Kay mencoba mendatangi psikiater. Ternyata prediksi dokter syaraf itu benar. Kay sakit. Bukan sakit secara fisik, tetapi sakit mental. Dan Kay harus menjalani pengobatan dan terapi rutin untuk menyembuhkan traumanya.

Sayangnya Kay menolak. Ia merasa baik-baik saja. Padahal, alam bawah sadarnya seakan sudah ter-setting akan adanya keinginan membunuh, tiap kali ia bertemu laki-laki berusia empat puluhan, yang mengajaknya berkencan, meskipun sudah memiliki istri.

Ayahnya berusia empat puluh dua tahun ketika Kay menemukan ibunya meninggal dengan jari manis terpotong. Sejak saat itu, Kay sering bermimpi buruk tentang ibu dan ayahnya. Tiap kali wajah ayahnya hadir dalam mimpinya, tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, dan membuatnya kedinginan.

Kekerasan yang dialami ibunya semasa ia berusia balita, terekam kuat dalam otaknya. Sehingga kejadian-kejadian itu terakumulasi, dan menjadi akar kepahitan dalam hatinya. Kepahitan itu akhirnya mempengaruhi fisik dan kondisi mental serta psikologisnya. Dimana, Kay akhirnya menjadi seseorang yang tidak mempunya empati, dan semakin lama menjadi seorang pembunuh berdarah dingin.

Kay sangat senang ketika melihat korban tewas dengan jari manis yang sudah dimutilasi. Bahkan, tiga korban terakhir yang dibunuhnya, dipotong-potongnya menjadi beberapa bagian. Ia bangga tatkala kemampuannya untuk membunuh semakin meningkat.

"Tinggal satu orang lagi yang harus kubunuh! Kau, Ayah!"

*Hallo...jangan lupa follow dan bintangnya yaa... Dukungan kalian adalah semangatku!*




KAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang