Jari-jari manis terpajang di lemari-lemari kaca. Beberapa potongan tubuh manusia yang lain juga ada di sana. Ruangan itu temaram, tetapi dipenuhi peralatan-peralatan canggih, juga alat-alat penyadapan. Tak jauh dari sana, ada sebuah ruang yang tak begitu besar, tempat Pak Budi--mantan polisi itu--disandera.
Tangan dan kakinya masih terikat di sebuah kursi besi. Mulutnya dilakban. Pria itu berusaha membebaskan diri, tetapi tak mampu.
Kay menghampiri laki-laki separuh baya di hadapannya. "Ini, makan." Kay membuka lakban penutup mulut Pak Budi, lalu dibukanya roti untuk disuapkan ke mulut pria yang sudah tampak putus asa itu.
Pria itu tampak lahap. Sudah beberapa jam ini dia menahan haus dan lapar. Dengan tubuh gemetar, Pak Budi memasukkan suapan demi suapan itu ke kerongkongannya.
"Katakan padaku, siapa yang membunuh Detektif Billy?" tanya Kay.
"Bolehkah...aku minum dulu?" pinta Pak Budi memohon.
Kay mengambil sebotol air mineral. Diberikannya pada Pak Budi. "Sekarang katakan, atau nasibmu akan sama dengan orang-orang yang jarinya ada di lemari kacaku ini!"
"B-baik," jawab Pak Budi terbata-bata.
Pak Budi pun menceritakan kronologis terbunuhnya Detektif Billy, seorang detektif veteran yang menolong Kay saat itu.
5 Juli 2005, pukul 21.00
Kay dan Bu Rissa melaporkan kematian Clara, ibu Kay. Pak Budi, yang saat itu shift malam, melayani laporan itu.
"Ada apa, Nak?" tanya Pak Budi.
Kay masih syok. Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong. Mulutnya kelu. Hingga detik ini, ia tak berbicara sepatah katapun.
"Pak, Anak ini menemukan ibunya tergantung," kata Bu Rissa.
Pak Budi memandangi Kay. Wajah Kay pucat. Tangannya bergetar. Pak Budi segera beranjak dari tempatnya. Ia mengambil minum untuk Kay.
Kay meneguk air itu sampai habis. Tetapi tak begitu memulihkan keadaannya. Ia masih terdiam dengan tatapan kosong. Meski tangannya tak lagi bergetar dan wajahnya sudah berangsur normal.
Bu Rissa menceritakan apa yang telah dilihatnya. Kay sedang menangis histeris di depan mayat ibunya yang tergantung saat ia datang.
"Kay, mana cincin yang kamu bawa?" tanya Bu Rissa.
Kay menyerahkan cincin itu kepada Pak Budi. "Apa ini?" tanya Pak Budi.
"Ini cincin ibunya, Pak," jawab Bu Rissa. "Pak, tolong. Pergilah ke rumahnya. Ibunya masih tergantung. Tolong tangani kasus ini." Bu Rissa memohon dengan sangat kepada Pak Budi.
Pak Budi memeriksa cincin itu dengan bubuk sidik jari. Tidak ada sidik jari siapapun. Pak Budi menduga, cincin itu terjatuh.
"Bagaimana cincin ini bisa lepas?" tanya Pak Budi.
"Jari manis ibuku...dipotong oleh Ayah," ujar gadis kecil yang masih polos itu.
Pak Budi dan Bu Rissa terbelalak. Mereka tak menyangka, di usia yang masih belia, Kay harus melihat adegan yang tak semestinya. Mereka tak menyadari, ada seseorang yang mendengar percakapan mereka.
Laki-laki separuh baya itu menghampiri mereka. Seorang detektif veteran bernama Billy.
"Apa yang terjadi?" tanya Detektif itu.
Pak Budi menjawab,"Anak ini sepertinya melihat pembunuhan. Tapi...maaf, Nak, saya tak bisa membantumu. Kamu tak punya cukup bukti dan saksi."
"Kenapa kamu tak mencobanya dulu, Bud? Apa karena Anak ini tak membayarmu, sehingga kamu nggak mau mengurus kasusnya?"
"Bukan begitu, Bil."
"Ah, kau selalu begitu! Nak, ayo kita kembali ke rumahmu. Bapak akan membantumu."
Detektif Billy merangkul Kay yang sedang marah. Ia marah karena perbuatan Pak Budi yang meremehkannya.
"Suatu saat akan kubalas perbuatanmu Pak Budi!" kata Kay dalam hati.
***
Kantor polisi, 5 Juli 2005 pukul 22.00Pak Budi memandangi pemandangan malam yang terlihat di balik jendelanya. Ia terus memikirkan gadis kecil itu. Hatinya ingin sekali pergi, andai saja laki-laki bernama Moreno itu tidak mendatanginya.
"Pak Budi, anda butuh berapa untuk pengobatan anak Anda?" tanya Moreno.
"Masih kurang banyak," jawab Pak Budi.
"Aku akan membiayai anakmu sampai sembuh, tapi dengan syarat...."
"Apa itu?"
"Tutupilah kasus ini sampai kapan pun! Aku tidak mau namaku jelek karena telah membunuh seseorang. Apalagi itu istriku. Ah, ya. Dan satu lagi, besok aku akan memberi pelajaran pada Detektif Billy yang sudah coba-coba mencampuri urusanku!"
Pak Budi mengangguk. Ia seperti budak *mamon yang serakah. Sehingga hati nuraninya tertutup, padahal mengerti kebenaran.
6 Juli 2005 pukul 07.00
Detektif Billy baru saja keluar dari kantor polisi untuk menyelidiki kasus pembunuhan ibu Kay, Clara. Semalam, ia dan Bu Rissa membantu menurunkan Clara dari tempatnya tergantung. Ia menemukan beberapa petunjuk dan barang bukti. Malam itu, ia segera menelepon bagian forensik untuk datang dan memeriksa mayat Clara.
Ponsel Detektif Billy berdering. "Halo," katanya sambil berdiri di samping mobil silver yang akan dikendarainya.
"Halo, Bil, aku mau melaporkan kondisi mayat Clara. Bisakah kamu datang ke sini?" tanya Don, seorang kepala forensik.
"Tentu saja. Aku akan ke sana sekarang."
Detektif Billy segera memasuki mobilnya, dan meluncur secepatnya ke laboratorium forensik. Tiba-tiba, sebuah truk kontainer besar berjalan di belakangnya dan menabrak mobil yang dikendarainya, sehingga mobil itu terpental beberapa kilometer. Detektif Billy tewas seketika dengan muka dan tubuh yang sudah tak berbentuk.
***
Kay menatap Pak Budi dengan tajam. Diambilnya sebilah pisau. Ia bersiap menghunus pisaunya itu di dada Pak Budi."T-tolong. T-tolong jangan bunuh aku!" Pak Budi mulai menangis dan berteriak. Ia sangat ketakutan. Tenggorokannya kering. Keringatnya membasahi baju yang sudah beberapa hari ini menempel di tubuhnya.
"Ah, aku tak akan membunuhmu Pak Budi. Asalkan kau berjanji...."
"A-aku berjanji. Aku berjanji. Tolong jangan bunuh aku!"
Kay tersenyum mengejek. "Kau berjanji?"
Pak Budi mengangguk. Kali ini ia benar-benar berjanji akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawanya.
"Katakan kepada kepolisian untuk membuka kasus ibuku dan Detektif Billy. Kalau bisa, Ayahku harus dihukum mati untuk membayar perbuatannya! Kau mengerti?"
Pak Budi mengangguk sekuat tenaga. Ia menyesal, mengapa dulu tak membantu gadis kecil yang memohon pertolongannya. Sekarang, ia ketakutan setengah mati karena gadis itu tumbuh menjadi seorang psikopat yang mengerikan.
Kay mengambil sebuah kursi kayu yang terletak di ujung ruang bawah tanahnya. Diletakkannya kursi itu di hadapan Pak Budi, tepat di sebelah kanannya.
"Entah mengapa, aku masih sangat ingin membunuhmu Pak Budi. Aku masih jengkel sekali kalau ingat kau pernah meremehkanku. Sayang, aku tak sampai hati membunuhmu karena kau satu-satunya saksi yang dapat membawa Ayahku ke penjara. Jadi, sebagai gantinya, aku hanya akan memotong jari manismu saja. Hahahahahahaha...."
"Tidak...tidak...jangan...." Pak Budi berteriak. Ia memberontak, hendak melepaskan diri, tetapi tidak sanggup.
Kay melepaskan salah satu ikatan tangan Pak Budi. Kedua tangan Pak Budi memang diikat secara terpisah. Ia meletakkan tangan kanan Pak Budi di kursi kayu yang telah diambilnya.
Daaasshhh. Darah mengucur deras dari tangan Pak Budi. Kelima jarinya ditebas dengan pisau daging tajam di tangan Kay. Pak Budi terjatuh ke tanah. Tiba-tiba pandangannya menjadi sangat gelap dan ia sudah tak ingat apa-apa lagi.
*Mamon=harta benda
*Jangan lupa baca dan vote yaa..follow juga..
KAMU SEDANG MEMBACA
KAY
Misteri / ThrillerKay adalah seorang perempuan 20 tahun yang cantik dan bermata indah. Banyak pria yang ingin menjadi kekasihnya. Namun Kay tidak sembarangan memilih laki-laki. Ia suka pria yang usianya jauh di atasnya, terutama yang sedang tidak harmonis dengan istr...