Bagian 1

1K 12 0
                                    

"Bagaimana, Bu?" tanya Kendra.

Dia melihat wanita itu termenung memandangi dinding yang dipenuhi deretan foto keluarga.

"Bu Alena?" tanyanya lagi saat tak mendapat jawaban.

"Oh, iya, gimana, Pak Ken?" Akhirnya dia menjawab setelah memutar tubuh menghadap Kendra.

Kendra menyadari wanita berambut panjang di-blow ikal itu memang sedang melamun.

"Saya minta turun harga sedikit saja, karena saya harus merenovasi bagian kamar mandi yang sudah kurang bagus kondisinya, dan plafon kamar belakang ada yang hampir jebol."

Kendra menjelaskan alasan tanpa menyebutkan nominal diskon yang ia minta.

"Boleh, Pak," jawab Alena singkat.

Ia kembali membalikkan tubuh menghadap dinding. Kedua tangannya sibuk menyeka linangan air mata agar tidak terlihat calon pembeli rumahnya.

Dia menyetujui tanpa tahu berapa harga yang kuminta? Apakah dia gila?

Mendadak Kendra menjadi tak enak hati dan merasa telah mengintimidasi wanita single parent di hadapannya.

"Kalau Ibu keberatan enggak masalah, kok."

"Maksudnya?" tanya Alena heran.

Dia membalikkan tubuhnya dengan refleks hingga Kendra bisa melihat kedua mata perempuan tiga puluh delapan tahun itu memerah.

"Rumah ini bagus, masih bisa dijual dengan harga tinggi kalau Ibu mau bersabar."

"Tidak usah, Pak. Saya senang kalau rumah ini berjodoh dengan Pak Ken."

Kendra menjadi salah tingkah.

Apakah ini pujian? Bagaimana mungkin dia bisa berpikiran seperti itu? Ini baru kali kedua pertemuan denganku. Ah ... dasar perempuan aneh!

"Humm, feeling saya mengatakan itu," jawab Alena grogi saat Kendra membelalakkan mata ke arahnya.

"Oh, syukurlah kalau begitu. Saya senang mendengarnya, Bu," jawab Kendra berbasa-basi.

"Silakan kalau masih mau melihat-lihat, saya buatkan kopi dulu, ya."

"Tidak usah, terima kasih. Saya masih ada keperluan lain. Tolong segera kirimkan nomor rekening Ibu, biar saya bisa transfer pembayaran uang mukanya. Saya berharap, kita bisa menyelesaikan secepatnya, karena harus segera pindah ke sini."

Alena terperangah. Secara mendadak ingatannya tersebar ke seluruh ruangan. Rumah seluas tujuh ratus meter persegi dengan furnitur lengkap yang hampir memenuhi seluruh ruangan harus segera dipindahkan ke rumah baru yang hanya dua ratusan meter. Lututnya mendadak lemas.

Rumah besar dengan lima kamar tidur utama itu kebanyakan berisi furnitur kuno peninggalan kedua orang tuanya yang terbuat dari kayu jati. Tak ada cara lain selain menjualnya dan Alena belum menggunggah furnitur itu di akun jual beli. Bagaimana mungkin menjual semua itu dalam dua minggu?

"Secepatnya? Maksudnya berapa lama lagi, Pak? Karena saya masih harus membereskan semua barang dan ini pasti memakan waktu yang lama," ucapnya gusar.

"Maunya dalam dua minggu ini, sih," jawab Kendra mengangkat alis mata dan memaksakan senyumnya.

"Dua minggu?" tanya Alena kaget. Kendra hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia mengalihkan pandangan tak sanggup memadang wajah perempuan yang tampak panik di depannya.

"Ibu keberatan?" tanyanya pelan memunggungi Alena.

Pandangan Kendra serius tertuju pada lukisan abstrak dengan nama tak dikenal tertulis di pojok kanan bawah. Sebuah lukisan besar yang baginya hanya percikan-percikan cat beraneka warna tetapi entah kenapa seperti menyimpan makna yang secara tiba-tiba membuat desiran hangat di dada.

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang