Bagian 9

136 5 0
                                    


"Apa?" teriak Adel saat Alena mengutarakan niat menikah dengan ayahnya Keenan.

"Ibu , tuh punya hati enggak, sih? Ayah belum lama pergi, kalau besok dia pulang, gimana?"

"Ayah sudah dua tahun pergi, dan sampai sekarang tidak ada kabar apa pun," bantah Alena lembut.

Bagi remaja kelas sembilan, belum bisa memahami bahwa dua tahun adalah waktu yang sangat melelahkan untuk sebuah penantian. Rentetan waktu yang cukup untuk menegaskan bahwa lelaki itu takkan pernah kembali lagi, terlebih setelah ucapan talak dijatuhkan.

"Justru itu, gimana kalau ayah meninggal? Ibu akan menyesal seumur hidup," ucapnya histeris  membanting pintu kamar.

"Adel!" teriak Ayu menyusulnya ke kamar.

Bulir bening terjatuh dari pelupuk mata Ayu. Walaupun dia membenci sikap ayahnya yang pergi meninggalkan mereka, tapi membayangkan memiliki ayah sambung cukup mengiris hatinya.

"Menurut Kakak, gimana?" tanya Alena pada Anita yang masih duduk di sofa memilin-milin kaus.

"Aku sih terserah Ibu saja baiknya gimana?" ucapnya dengan senyum bergetar.

"Kamu enggak marah sama Ibu?"

"Ibu juga berhak bahagia," jawabnya bijak walaupun hati berdebar sangat keras.

"Terima kasih, Kak."

"Tapi, apa Ibu mencintai Pak Ken? Selama ini aku enggak lihat tanda-tandanya."

Anita memang jarang bertemu karena dia kos dekat kantornya di Jakarta. Sesekali saja dia bertemu saat pulang di akhir pekan.

"Tidak, maksudnya belum. Maksud ibu, selama ini tidak ada apa-apa," jawab Alena dengan gugup.

"Lalu kenapa bisa berencana menikah dengannya?"

"Entahlah," jawab Alena menerawang.

Alena menceritakan saat awal ia memintanya berpura-pura menjadi calon suami demi menghindar dari Damar.

"Ya, ampuun." Anita menghambur memeluk Alena. Dia merasa sedih atas perlakuan orang tua Damar yang merendahkan status janda.

"Ibu berhak menentukan jalan hidup sendiri! Kalau Ibu merasa Pak Ken bisa membahagiakan, silakan lanjutkan tidak usah meminta pendapat kami. Ibu jangan hiraukan Adel, dia masih kecil dan belum bisa berpikir dewasa. Aku mendukung sepenuhnya keputusan Ibu."

"Terima kasih, Kak," ucap Alena terharu. Senyumnya menyungging berbarengan dengan setitik air bening terjun bebas di pipinya.

Pintu kamar dibuka dengan keras. Adel dengan tas ransel berisi pakaian berjalan cepat pergi meninggalkan rumah.

"Del, mau ke mana?" tanya Alena.

"Bukan urusan Ibu!" Adel berlari ke luar dan dikejar Anita, tetapi sia-sia. Adel tidak mengindahkan nasihat dari kakaknya dan malah semakin kencang berlari membawa deraian air mata.

"Ayu?" tanya Alena meminta pendapat.

"Biarkan saja dulu, Bu. Paling dia nginap di rumah temannya."

"Kamu yakin?" tanya alena khawatir.

"Iya. Dia itu sebentulnya penakut, tapi dia emosian. Nanti kalau dia sudah sadar juga pasti balik sendiri."

"Ibu khawatir dia bakal berbuat yang enggak-enggak," ucapnya kalut mondar-mandir menatap pintu pagar rumah yang terbuka lebar.

"Enggak, Bu, tenang aja," ucap Ayu meyakinkan.

Ponsel Alena bergetar, sebuah pesan masuk dari Kendra menanyakan apakah dia sudah membicarakan rencana pernikahannya dengan anak-anak. Alena menjawab apa adanya mengenai kondisi Adel yang pergi membawa kemarahan.

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang