Bagian 11

134 4 0
                                    


Damar bergegas meninggalkan ruang rapat di lantai lima salah satu hotel di kawasan Kemang. Saat antrean lift penuh, dia menggunakan tangga darurat menuju basement tempat mobilnya diparkir.

Dengan napas menderu saat tiba di parkiran, tanpa pikir panjang dia segera melajukan kendaraannya ke luar hotel. Diminumnya air mineral dalam botol yang ada di sampingnya.

Salah satu teman SMA-nya yang kebetulan bertetangga dengan Alena memberitahukan bahwa kekasihnya akan menikah untuk kedua kalinya hari ini pukul sepuluh.

Kenapa dia harus menyerah? Kenapa dia tidak memberikanku kesempatan untuk memperjuangkannya? Apa salahku Alena?

Damar memukul setirnya dengan kencang hingga tak sengaja membunyikan klakson yang mengagetkan pengendara motor di depannya. Dia membuka jendela, melambaikan tangan, dan tersenyum untuk meminta maaf pada pengendara yang sedang mengomelinya.

Satu jam kemudian Damar sudah melalui pintu tol Ciawi dan semakin cepat melajukan kendaraannya menuju arah Puncak. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Acara pernikahan itu bisa saja sudah dimulai, tetapi tak menghentikan Damar untuk tetap mendatangi Alena.

Pukul 10.20 menit Mobil masuk area parkir masjid. Tak ada tanda-tanda keramaian kecuali satu mobil yang dia kenal pernah menyambangi rumah Alena. Bergegas Damar ke luar mobil dan masuk ke dalam masjid setelah membuka sepatunya.

Langkahnya gontai menuju mimbar dengan beberapa orang sedang berkerumun. Alena sedang mencium takzim tangan lelaki berkacamata yang mengenakan peci hitam dengan baju koko putih. Setiap langkah gontainya diiringi tangis dan isakan pelan yang berusaha keras ditahan.

"Alena!" Isaknya semakin keras menggema ruangan masjid hingga membuat orang-orang menoleh ke arahnya.

"Damar?" ucapnya pelan menoleh ke arahnya dengan heran.

Alena yang tampak cantik dengan riasan sederhana mendadak pucat tak menyangka kehadiran Damar. Hatinya bertanya-tanya siapa yang telah memberitahukan Damar.

"Apa maksud semua ini, Al? Apa?" tanyanya lantang mendekat.

"Maafkan aku," ucapnya lirih menunduk dalam tangis.

Beberapa orang berdiri mencoba menghalau langkah Damar yang menurutnya akan mengacaukan acara. Satu orang yang tak dikenal mencoba menasihatinya dan memintanya untuk ikhlas. Satu orang lagi mengajaknya ke luar.

Deraian air mata semakin bebas mengalir di wajahnya. Kulit putihnya memerah menahan emosi yang mengguncang dada. Kedua tangannya dipegang kuat dua orang.

"Kamu tega, Al! Kamu tegaaa!" teriaknya.

Kendra menahan tangan Alena saat tahu perempuan yang baru saja sah menjadi istrinya akan bangun menghampiri Damar. Alena mengangguk lemah menuruti suaminya. Hatinya pun menangis menyesali kedatangan Damar. Dia bisa merasakan betapa hancur dan pedih perasaannya saat ini.

Damar terus meronta tak peduli semua mata memandang ke arahnya. Hingga akhirnya dia pun pasrah meninggalkan masjid dengan guncangan hebat di dada. Dilajukannya mobil dengan kecepatan tinggi, sampai tak sadar lampu berkedip-kedip pertanda dia belum memasang sabuk pengaman. Kakinya terus menginjak habis pedal gas dan jarum RPM tetap bertahan di sudut kanan.

Isak tangisnya semakin keras dengan air mata yang banjir. Tangan kanan memegang kepala sesekali menyeka wajahnya. Emosi kesedihan yang meluap tak menyadarkannya dalam posisi bahaya. Tanpa sadar mobilnya menabrak keras truk tangki air hingga membuat mobilnya terlempar jauh ke samping tol. Kepalanya terbentur keras stir mobil hingga mengeluarkan banyak darah dari beberapa bagian wajah.

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang