Bagian 12

115 4 0
                                    


Anita terkejut saat Kendra menawarinya untuk melanjutkan sekolah ke universitas saat dirinya sudah nyaman menjadi karyawan bank swasta dengan gaji cukup untuk hidupnya.

"Kalau kamu memang nyaman bekerja, tak perlu berhenti. Tetapi kamu harus ingat, ijazah itu akan diperlukan untuk jenjang karier kamu kelak."

"Saya enggak bisa atur waktunya, Pak Ken."

"Kamu coba mengajukan izin pada atasan untuk kuliah, kalau tidak diizinkan saya sarankan kamu berhenti dari situ. Lebih baik kuliah, saya yang akan membiayai kebutuhan kamu sepenuhnya."

Anita mendongak. Belum satu bulan Kendra berubah status dari tetangga menjadi ayah sambung, kini dia sudah merasa berhak mengatur masa depannya. Anita sudah nyaman dengan kemandiriannya dan merasa jengah jika harus menggantungkan hidupnya pada lelaki berlabel ayah baru yang dia sendiri belum paham karakter aslinya.

"Maaf, Pak Ken, aku memilih bekerja saja. Aku takut otakku enggak sanggup membagi beban pekerjaan dan tugas kuliah nantinya," tolak Anita dengan halus.

"Apakah kamu tidak terlalu tergesa-gesa memutuskannya? Apakah enggak lebih baik kamu pikirkan dulu? Ini untuk masa depan kamu, loh. Karena setahu saya setiap perusahaan punya standar pendidikan minimal yang harus dimiliki karyawannya. Kamu akan mudah terdepak oleh pendatang baru yang berpendidikan lebih tinggi."

"Aku ingin menikah muda, Pak?"

Kendra dan Alena terkejut dengan jawaban Anita.

"Kak Nit, kamu bahkan belum dua puluh tahun? Yakin mau menikah?" tanya Alena menautkan alis.

Kendra merasa bingung dengan rencana Anita yang tidak berkaca dari pengalaman ibunya. Seorang wanita cerdas yang kehilangan masa remaja karena harus membaktikan diri menjadi istri orang, dan saat orang itu meninggalkannya, dia tak mampu berbuat apa-apa karena minimnya keahlian dan pergaulan yang dimiliki.

"Manusia pernah berbuat salah, Pak. Aku sudah punya rencana sendiri untuk masa depanku."

"Kak Nit, kehidupan pernikahan itu enggak mudah. Menurut Ibu, kamu harus memikirkannya lagi," ujarnya gusar, duduk mendekat di samping Anita.

"Kamu sudah punya calonnya?" tanya Kendra.

Anita mengangguk.

"Bisa ajak dia kemari? Sebelum dia melamarmu, kami harus mengenalnya dulu, kan?"

"I-iya, Pak. Tapi tidak bisa dalam waktu dekat ini, karena dia sedang pulang ke Lampung dan baru kembali minggu depan."

"Ya, enggak masalah. Berarti minggu depan kamu bisa ajak dia ke rumah, kan?"

"I-iya, Pak."

"Ya, sudah. Sekarang, mumpung kamu di rumah, kamu ajak adik-adikmu menyiapkan makan malam, ya."

"I-iya, Pak."

*****

Di ruang tengah, Alena menemani Kendra menonton televisi sembari mengupas Apel. Kendra memiliki kebiasaan memakan buah sebelum makan malam.

"Aku, tuh, keberatan Anita hidup sendiri di kosannya. Jaman sekarang pergaulan bebas di Jakarta sangat mengkhawatirkan," ucapnya pelan.

"Kita percayakan saja pada Anita, Mas."
"Aku percaya Anita anak yang baik, yang aku enggak percaya akal bulus laki-laki."

Arena terperangah menatap Kendra dan membuatnya jengah.

"Loh, kok mandangnya gitu? Aku enggak termasuk laki-laki seperti itu, ya, kamu tahu sendiri, kan?" belanya sembari memasukkan potongan Apel dengan garpu kecil.

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang