Bagian 14

125 3 0
                                    


"Jauh-jauh belanja ke Jakarta demi mengejar diskon, Mas?" tanya Alena dalam perjalanan ke super market besar yang berlokasi di Jakarta Utara.

"Kenapa tidak?" jawabnya santai sembari mengemudikan mobil di jalanan yang lengang hari Minggu pagi.

"Mas lebih parah dari ibu-ibu, deh," ujar Alena terkekeh.

Kendra mencubit hidung bangir Alena.

"Pulang belanja nanti, kita mampir ke kosannya Anita, ya. Aku khawatir karena sudah tiga minggu dia enggak pulang. Kamu masih ingat lokasinya, kan?"

"Aku telepon dia biar share lock," jawab Alena mengangkat ponsel hendak menekan tombol untuk menelepon anak sulungnya.

"Enggak usah! Kita kasih kejutan untuk dia," pinta Kendra meraih ponsel dari tangan Alena.

Suasana super market masih sepi karena baru saja jam operasionalnya dibuka. Memang sudah kebiasaan Kendra saat berbelanja di awal jam buka toko, untuk menghindari keramaian. Di gandengnya lengan Alena membuat beberapa karyawan toko tersenyum semringah melihat kemesraan mereka.

Kendra meraih troli dan mendorongnya, sedangkan Alena mengambil beberapa produk yang dibutuhkan seperti tercatat di ponsel.

"Minyaknya ambil enam pouch, Al. Mumpung lagi promo. Itu di sana beras juga sedang diskon besar, ayo kita ke sana."

Alena tertawa. Ini kali pertama tahu karakter suami yang menurutnya sangat unik. Kehebohannya saat melihat diskon di papan harga lalu membelinya lebih dari satu mengundang petugas untuk menegur.

"Maaf, Pak, maksimal pembeliannya tiga saja, tidak boleh banyak-banyak," tegur petugas berbaju hitam saat Kendra mengangkat karung beras keempat kemasan lima kilogram.

"Saya lihat di iklannya enggak ada batas pembeliannya, Mas?"

Kendra mengeluarkan ponsel yang sudah meng-capture bukti iklan supermarket itu.

"Maaf, Pak, itu bahasa marketing saja,"

"Loh, jadi bahasa marketing apa boleh menipu masyarakat?" Jauh-jauh, saya ke sini untuk belanja karena ada diskon!" ucapnya dengan intonasi agak tinggi.

"Mohon maaf, Pak, tapi memang ada batas maksimal pembelian," ujarnya hendak mengangkat karung beras dari troli yang masih dipegang Kendra.

"Tidak bisa begitu! Tolong panggil manajernya, saya mau bicara," ucapnya tegas dengan wajah serius.

"Sudahlah, Mas, kembalikan saja," pinta Alena menenangkan Kendra yang mulai terlihat emosi. Dia merasa malu karena pengunjung super market sudah mulai berdatangan.

"Enggak bisa gitu, Al. Mereka harus mempertanggungjawabkan iklannya. Kalau begini caranya, mereka membohongi konsumen. Kita bisa melaporkannya ke YLKI, loh, jangan salah," jawabnya bersemangat.

Kenapa urusan belanja diskon sampai melibatkan YLKI segala, sih? Kok ribet amat, ya?

Alena bergugam dalam hati dengan wajah meringis.

Tak lama muncul lelaki bertubuh tambun dengan tinggi seratus lima puluhan, mengenakan pakaian yang sama berjalan berdampingan dengan petugas tadi mendekat ke arah mereka. Tubuh Alena gemetar khawatir terjadi perkelahian di antara mereka.

Kendra teguh dengan pendiriannya dan mengancam akan melaporkan ke YLKI. Manajer yang masih dalam masa percobaan itu terlihat ketakutan karena ide materi iklan itu memang berasal darinya. Akhirnya, mereka mencapai kesepakatan. Kendra di perbolehkan membeli sebanyak yang dia mau tapi struk belanjaannya dibuat terpisah.

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang