Bagian 10

159 4 0
                                    


Adel masuk ke dalam kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air yang dingin menusuk tulang. Tangisnya masih belum juga reda. Dia merasa bersalah telah mengeluarkan unek-unek dengan membentak ibunya. Namun, hatinya tidak bisa dibohongi. Dia tidak bisa menerima kehadiran Pak Ken sebagai ayah sambungnya karena dia masih berharap ayahnya akan kembali berkumpul bersama mereka.

"Del, udah enakan? Kakak mau bicara sama kamu di kamar."

Anita menyapa Adel saat melihatnya ke luar dari kamar dengan mengenakan celana pendek dan kaus merah gombrang yang sudah belel.

"Aku ikut," ucap Ayu.

"Ibu, gimana?" tanya Anita pelan menoleh pada Ayu.

"Udah tidur," jawabnya.

"Ok, kita ngobrol bertiga di kamarku, ya."

Adel dan Ayu mengekor menuju kamar Anita yang terletak di depan kamar mereka. Rumah mereka memiliki tiga kamar kecil di lantai bawah. Kamar berukuran besar terletak di lantai atas dan dibiarkan kosong karena tak ada yang berani menempati.

"Kakak enggak mau menghakimi kamu, Del, tapi menurutku, enggak ada salahnya Ibu punya kehidupan baru. Kamu mungkin belum paham, tapi Ibu kesepian."

"Ada kita bertiga, apa iya Ibu masih kesepian, Kak?" tanya Adel memelas.

"Ibu masih muda, dia masih butuh pendamping," ucap Ayu menambahkan.

"Begini, Del. Ibu menikah tak lama setelah lulus SMA. Setelah menikah disibukkan dengan mengurus tiga anak. Sakit lalu terkena masalah dengan Oma Dena perihal Alif, lalu ditambah kepergian ayah tanpa kabar. Ibu masih waras sampai sekarang saja udah bagus. Bayangkan kamu ada di posisi Ibu, sanggup enggak kamu ngejalanin semua ini?"

"Kak Nit lebih memihak Pak Ken dari pada Ayah?"

"Aku bukan memihak, Del. Aku mencoba legowo untuk menerima Pak Ken mendampingi Ibu."

"Apa jaminannya dia bisa membahagiakan Ibu?"

"Kak Nit enggak tahu. Kita serahkan aja sama Tuhan," jawabnya mengangkat tangan.

"Kak Nit sudah melupakan Ayah?" tanyanya lirih berurai air mata.

"Sampai kapan pun, Ayah akan tetap jadi Ayah kita, tapi kita jangan egois dengan melupakan semua perlakuan ayah terhadap Ibu. Ibu berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Itu hidup Ibu, kita enggak boleh ikut campur."

Adel menangis memeluk kedua kakinya. Anita memeluknya dengan erat. Tanpa bisa ditahan, bulir bening meleleh juga di pipi Anita.

"Ibu akan melakukan apa aja keinginan kita. Bahkan membatalkan rencananya menikahi Pak Ken, tapi apa iya kita setega itu sama Ibu? Setelah masa remajanya hilang demi mengurus kita semua. Ayolah, Del," ucap Anita mengusap punggung adiknya.

Adel tidak menjawab. Dia masih bimbang dengan hatinya yang masih terasa sakit mendengar kabar rencana pernikahan Ibu dengan Pak Ken.

"Ayah, pulaaaang," rengeknya pelan sesenggukan.

"Sudah, Del. Kita doakan aja Ayah bahagia di mana pun berada."

"Ayaaaaahhhhhh." Air mata Adel semakin membanjiri pipinya yang tembam. Dia meraih bantal dan menenggelamkan wajah berusaha meredam tangisan yang tak dapat ditahan lagi. Dadanya berguncang keras merasakan hati yang teriris pedih.

Mereka bertiga akhirnya saling berpelukan. Tangisan ketiganya pun tak tertahankan. Mereka harus saling menguatkan satu sama lain demi kebahagiaan ibunya, walaupun nyeri di hati tak bisa dihilangkan.

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang