Bagian 15

155 6 0
                                    


Sudah dua hari Alena tidak berselera makan. Dia lebih sering mengurung diri di kamar menemani Keenan. Hatinya masih terasa sakit mengingat kejadian itu. Tiga hari ke depan semua anak-anak akan pindah tinggal bersama di rumah Kendra. Tak sedikit pun dia membantu.

"Mau sampai kapan kayak gini?" tanya Kendra memijit-mijit kakinya.

"Apanya, Mas?" jawabnya pura-pura.

Dia sedang tidak ingin membahas masalah kemarin. Dirinya cukup malu dengan sikap kurang ajar Anita pada Kendra.

"Kamu enggak mau membicarakannya?" tanyanya lembut.

Alena tidak mengalihkan pandangannya. Sedari tadi dia memandangi bayi gemuk yang sedang terlelap mengenakan jumpsuit berwarna kuning kontras dengan kulitnya yang putih.

Kendra menepuk punggung Alena memintanya bergeser. Tak lama dia merebahkan tubuh di sampingnya. Dengan kedua tangan terlipat di dada, Kendra menghela napas dengan kasar.

"Menurutmu, apakah aku terlalu keras mendidik anak-anak?"

"Yang mana, Mas?"

"Semuanya? Menurutku, semua wajar-wajar saja, karena mereka adalah tanggung jawabku. Aku ingin tahu bagaimana dulu kamu dan ayah mereka mendidiknya?" tanyanya memandangi langit-langit. Alena membalikkan tubuh meraih satu bantal untuk menyangga kepalanya.

"Ayah mereka sangat lemah lembut. Bisa dikatakan tidak pernah memarahi mereka. Mungkin karena kesibukkannya juga, jadi saat berkumpul selalu diisi dengan obrolan biasa. Hampir tidak pernah ada masalah."

"Al, aku punya alasan khusus dalam setiap pola didikanku. Kuharap kamu bisa mendukungnya."

"Iya, Mas," ucapnya pelan tak berani membantah walaupun ada hal yang tidak berkenan di hatinya.

"Katakan kalau kamu keberatan. Mungkin kita bisa mendiskusikannya,"

"Tidak, Mas," ucapnya berbohong.

Bagaimana mungkin aku harus membantahnya setelah semua yang dia berikan tulus dan ikhlas untuk anak-anakku?

"Al, menurutmu kapan kalian bisa kembali baik seperti dulu? Aku enggak enak hati melihat kalian saling berdiam."

Alena terdiam. Tak sadar bulir bening merambat cepat menetes di bantal meninggalkan bercak basah di kain bermotif salur berwarna silver. Alena mendengkus mengusap air mata.

"Aku bisa merasakan perihnya hatimu. Aku minta maaf kalau ada andilku dalam kejadian ini. Mungkin bajingan itu menaruh dendam padaku setelah aku ajak bicara di rumah ini."

"Enggak, Mas. Itu bukan salahmu. Aku yakin Anita sama dengan Adel yang menyalahkanku atas kepergian ayahnya. Aku bingung, kenapa mereka sampai berpikir seperti itu padaku?" ucap Alena pelan, terisak.

Kendra membalikkan tubuh menghadap Alena. Tanpa dia sadari, istrinya sudah bersimbah air mata. Diraihnya kepala Alena ke dalam pelukan. Usapan tangan Kendra sangat menenangkan jiwanya yang kembali bergejolak. Sesekali Kendra mengecup keningnya.

"Menangislah kalau harus menangis," ucapnya lembut.

"Salahku apa, Mas? Salahkah aku mengabdi sebagai ibu rumah tangga? Salahkah aku yang tidak punya keahlian apa-apa selain mencintai dan menyayangi keluargaku? Tidak cukupkah kasih sayangku pada mereka?" ucapnya lirih.

"Tidak. Semua yang kamu ..."

"Ayah mereka pergi tanpa sedikit pun meninggalkan kata perpisahan. Kenapa aku yang disalahkan? Aku bahkan tidak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat."

Step DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang