****

277 44 1
                                    

Araminta menyelipkan tangannya yang masih bebas di saku celana, berharap telapaknya nggak sedingin batu es begini. Biasanya setelah beberapa kali menarik napas panjang ketegangannya perlahan-lahan bisa berkurang, tapi sedari tadi nggak kunjung jadi melakukannya karena konsentrasi Araminta terusik terus oleh tatapan mata ingin tahu yang tertuju ke arahnya. Nggak hanya dia kini merasa seperti panda di kandang kaca di Taman Safari, dia juga menyadari nggak satu orang pun yang seumuran dengannya di ruangan ini. Tuan rumahnya malah nggak kelihatan batang hidungnya sedari tadi.


Where is he? Where the heck is Raymond?!


"Jadi ini yang namanya Araminta?" Seorang wanita tua—yang mengingatkan Araminta pada mendiang omanya sendiri—berbaju kurung dusty pink tiba-tiba muncul dari balik kerumunan, berjalan tertatih-tatih dengan senyuman tulus tersungging di wajahnya.


Araminta ingin balas menyapa, tapi suaranya seperti tersangkut di batang tenggorokan.


"Makasih ya, Sayang, kamu udah dateng ke ulang tahunnya Eyang. Dari semua hadiah yang Eyang terima malam ini, kamulah doa yang akhirnya jadi kenyataan."


That's it. Satu-satunya penjelasan paling masuk akal yang terpikir olehnya adalah dia salah masuk rumah. Mungkin keluarga besar ini pun sedang menunggu 'Araminta'—seseorang yang clearly bukan dirinya. Jadi sebelum dia ikutan sinting juga, lebih baik cepat-cepat angkat kaki dari rumah ini.


"Euh, halo, Ra." Sebuah suara yang akhirnya Araminta kenali terdengar dari pintu belakang yang baru saja terbuka. Raymond datang bersama dua anak kecil, satu digendong dan satunya lagi menggenggam celana cowok itu dengan tangannya yang basah.


"Maaf ya tadi nggak nyambut kamu di depan. Aku keasyikan main sama ponakan di belakang...." Dan ketika Araminta berharap Raymond melanjutkan ucapannya dengan penjelasan, cowok itu malah membungkam mulutnya. Kayak memang disengaja. Tapi sekarang dia tahu nggak salah alamat. Ini memang rumah Raymond, dan orang-orang yang menatapnya dengan kompak ini adalah keluarganya. Araminta memang sudah lama nggak berkencan, tapi masa iya sih pandemi juga ikut mengubah konsepnya 180° kayak gini? Masa iya kencan yang biasanya one-to-one berubah jadi pertemuan dengan anggota keluarga besar?


No, this feels even weirder than that, koreksi Araminta dalam hati. Gue justru ngerasa diperlakukan kayak kakek buyut di film Coco, yang akhirnya ketemu lagi dengan semua keturunannya setelah mati puluhan tahun yang lalu.


"Euh, jadi ini keluargaku, Ra. Jadi itu bundaku," kata Raymond, ketika melihat ke wanita yang nggak kunjung melepaskan lengan Araminta. "Ada Eyang Putri dan Eyang Kakung juga." Tatapannya kembali tertuju ke wanita yang menggandeng Araminta.


"Ohhhh," hanya itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Araminta benar-benar terjepit di antara kondisi kaget dan nggak henti-hentinya merasa clueless.


"Bun, berhubung Araminta-nya udah dateng, apa kita bisa mulai aja acara syukurannya?"


Bunda Raymond membalas dengan anggukan dan akhirnya melepaskan tangan Araminta sepenuhnya. "Yawdah. Bunda keluarin cake-nya dari kulkas dulu. Om kamu di mana?"


"Lagi nonton TV di atas kayaknya."


"Panggilin. Anak-anak, ayo semua ikut kumpul di sini."


And just like that..., Araminta kembali ditinggal sendirian oleh Raymond.


"Nggak perlu nervous kayak gitu," wanita berbaju floral tadi tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. "Setelah melihat reaksi Eyang Putri tadi, nggak perlu nunggu lama untuk dapet restu dari semua anggota keluarga."


Wait. What?


"Ngomong-ngomong, baju kamu beli di mana ini? Ada yang size-nya Tante nggak?"


"Araminta!" panggil bundanya Raymond dari balik island. "Kamu nanti duduknya di samping Bunda dan Eyang Putri ya."


Araminta menelan ludah. "I-iya, Tante."


"Kok Tante sih manggilnya? Bunda, Sayang."


"B-Bunda."


"Gitu dong. Ayo, kamu langsung duduk aja. Nanti kita cerita-cerita ya sambil makan."


"Curang ih, Tante Grace. Kita-kita juga kan pengen kenal sama Araminta juga," kata seorang cewek berbibir tebal seperti salah satu anggota keluarga Kardashian. Araminta nggak tahu cewek itu muncul dari mana, tapi obviously menambah sesak area dapur yang nggak seberapa luas ini.


"Hih, kamu! Tunggu giliran ya! Tante aja yang udah ngandung Raymond sembilan bulan baru kebagian jatahnya sekarang. Selama ini Araminta-nya dimonopoli sama Raymond melulu. Baru sekarang mau dikenalin ke kita semua."


This is too much. Yang didengarnya barusan nggak hanya sulit diterima logika, juga nggak ada dasarnya. Orang-orang ini perlu gue ingetin apa, guenya baru kenal bentar doang sama Raymond? Dan ini first date kami?


....


....


Sepertinya nggak.


Dari cara Tante Grace slash Bunda Raymond dan Cewek Kardashian menatap dengan kompak, dengan mata cokelat gelap serasi penuh dengan harapan, Araminta semakin yakin mereka nggak tahu apa-apa. Dan sedikit saja bibir ini mengeluarkan statement tentang yang terjadi sebenarnya, bisa dipastikan dia akan merusak pesta ulang tahun Eyang Putri.


Nggak perlu otak seencer Isaac Newton untuk menalar yang satu itu. Balon angka 8 dan 9 mengambang di udara, balon-balon warna-warni, hiasan bendera membentuk tulisan HAPPY BIRTHDAY tergantung di dinding exposed brick di sebelah kiri Araminta. Meja makan panjang di tengah-tengah ruangan dihias dengan taplak bordir dan lilin-lilin, diperuntukkan bagi enam belas undangan—Araminta mulai melihat segalanya apa adanya. Raymond, 37, menjebaknya datang ke pesta ulang tahun eyangnya! 


Happiness Can't Buy Money (PREORDER NOW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang