episode keempat

248 30 5
                                    

episode keempat

AKU TAK MENGENALMU,

TAPI DEMI APA,

KAMU BUAT HATIKU TERSIPU!


The city's full of people who you just see around.

[MEN AT ARMS TERRY PRATCHETT]


'Switchin' the positions for you'

Suara sengau Ariana Grande mengalun lembut dari speaker dan menyelimuti udara di dalam kafe. Dulu Mirza yang menghubungkannya langsung dengan komputer merangkap mesin kasir. Jadi apa pun lagu yang diputar di situ, konsumen Eat Me juga bisa menikmati. Plus, sekalian udah beli paket premium, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dong!

Bibir Araminta ikut bernyanyi meskipun tanpa suara. '—cookin' in the kitchen and I'm in the bedroom—' Napasnya tertahan, sadar dia bakalan gagal melafalkan lirik di bagian selanjutnya. 'I'm in the Olympics, bla bla bla....' Ugh!

Kesel deh sama tren lagu-lagu zaman sekarang. Lirik lagu diucapkan cepat sekali, seperti sedang nge-rap. Nggak hanya lagu Ariana yang ini, dulu juga Araminta ngomel-ngomel waktu berusaha menyanyikan bagian refrain "Never Really Over"-nya Katy Perry. Padahal lagunya bagus banget.

"Mending kita tutup lebih awal aja deh, Ra." Araminta langsung menoleh ke arah Mirza. Cowok itu berdiri di dekat etalase, sama 'sibuknya' dengan dirinya. Sedari tadi jari-jari tangannya seperti nggak bisa berhenti menari di atas layar handphone.

"Lo liat sendiri kan, dua jam terakhir nggak ada yang dateng." Araminta refleks mengecek jam digital di handphone-nya sendiri. Pukul sembilan pas. Masih terlalu 'pagi' untuk tutup. "Kafe ini sebelas-dua belas sepinya sama kuburan angker."

Pasca PSBB, jam sibuknya Eat Me terbagi tiga. Sekitar pukul sembilan atau pukul sepuluh pagi. Biasanya anak muda dengan laptopnya, atau rombongan ibu-ibu yang baru saja menjemput anak-anaknya dari playgroup dekat sini. Kebanyakan memesan kopi dan snack. Atau cake, tapi seringnya buat takeaway karena permintaan anak-anaknya. Rengekan, lebih tepatnya.

Jam makan siang adalah waktu tersibuk di hari itu. Hampir segala jenis makanan di menu dipesan di jam-jam itu, mulai dari cake sampai cookies, french fries sampai Indomie rebus/goreng (ya, Eat Me sekarang menjual Indomie juga kayak warkop, dengan berbagai opsi topping—kornet, telur, teri Medan, macem-macem pokoknya—yang dengan cepat jadi favorit anak sekolahan dan mahasiswa). Jam makan siang juga jam-jam gerah bagi Araminta, yang harus panas-panasan bekerja di dapur.

Sore menjelang malam biasanya mereka kategorikan sebagai jam 'kadang'. Kadang rame, kadang sepi. Hari ini kayaknya sih cenderung ke kategori kedua.

"Yakin? Can we afford to close early?"

"Ho-oh," jawabnya bareng anggukan. "Kan beneran nggak ada yang dateng toh."

"Ohhhh, gue kira lo ngajak tutup tuh ada hubungannya sama chat-chat amoral lo sama Urbano," sindir Araminta sambil tertawa ngakak. "I even saw his nude pic. Kaosan tapi nggak pake celana... kayak Winnie the Pooh bwahahahaha!"

"Fuck! Lo ngintip ya tadi?"

"Bitch, lo keasyikan bales sambil senyam-senyum mesum, nggak nyadar sama sekali gue lewat dari belakang lo. Gue bisa apa, my eyes are naturally kepo. Hahahahaha!"

"Iya nih, Urbano emang lagi extra horny. Soalnya ada hubungannya sama anniversary kami."

Araminta mengernyit bingung. "Heh? Bukannya lo jadiannya pas Valentine?"

Dia nggak mungkin lupa, karena sehari setelahnya Mirza datang padanya dengan mata berkaca-kaca. "Urbano nyatain cintanya tadi malem, Ra. Dia bilang pengen jadi pacar gue. Pas Valentine lagi. He even bought me roses, buat apa coba?" "Err, karena dia cinta sama lo?" "Yeah, yeah, yeah. Itu juga. But he didn't have to do woo me anymore. I'm already wooed. I suck his dick and ride him to the sunset—semuanya gue lakukan dengan sukarela." "TMI, slut!" Araminta tertawa. "Tapi kenapa malah heran sih. Harusnya lo bersyukur dong. Akhirnya nemu juga cowok yang tergila-gila sama lo, yang masih kepikiran buat bawain mawar bahkan setelah kalian fucking berkali-kali. Mantan gue sebelum-sebelum ini buat kondom aja harus gue yang keluarin dompet." Oke, abaikan bagian curhat yang terakhir.

"Yeah, yeah, official-nya gitu," kata Mirza. "Tapi gue dan Urbano hookup pertama kalinya tuh di tanggal hari ini. Thank you so much, Grindr!"

"Oh ya? Tunggu apa lagi kalo gitu!" Araminta mendorong bahu cowok itu. "Pulang lo sekarang, biar sempet douching dan digagahi sama pacar lo."

"Jijik ih istilah lo, Ra... digagahi."

"That's the correct term, FYI—menurut app kamus Bahasa Indonesia di handphone gue ya."

Mirza nyengir, tapi cowok itu masih menatapnya tak yakin. "Euh, lo beneran nggak pa-pa kalo gue tinggal?"

"Nggak pa-pa," ulang Araminta sekali lagi. "Besok aja lo pikirin, mau bales dengan apa pengorbanan gue ini. Semakin banyak rondenya lo dan Urbano malem ini, tambah naik juga deh fee balas budi lo, hahahaha!"

Mirza tersenyum, lalu memberi cewek itu pelukan sayang. "Oke, oke. Thanks ya, Ra. Gue cabut sekarang."

"Have fun! Wait, let me rephrase that: don't have too much fun!" serunya saat Mirza muncul lagi dengan tas selempangnya. "Tetep pake protection. Gue takut lo hamil di luar nikah, Za."

Mirza balas mengacungkan jari tengah, tentu saja sambil tertawa. "Pulang dulu ya, Ra!"

"Okie dokie!"

Baru saja partner bisnisnya itu pergi, seekor ibu-ibu bersama anaknya menarik pintu kaca dan masuk ke kafe. 

Oh no!

Happiness Can't Buy Money (PREORDER NOW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang