*

352 43 0
                                    

Tapi seperti yang Araminta bilang tadi, lain dulu lain sekarang. Tahun lalu, nggak seekor manusia pun yang membayangkan kalo pergi ke mana-mana diwajibkan memakai masker atau face shield. Tapi di tahun 2020 ini, keduanya adalah pemandangan sehari-hari. New normal, katanya. Jadi kenapa Araminta nggak bisa berubah pikiran juga tentang dating app?


"Nanti-nanti aja ceritanya," alasan Araminta sambil pura-pura sibuk bebersih. Padahal sebenarnya percuma juga. Nggak peduli seperti apa usahanya merahasiakan tentang Raymond, pada akhirnya Mirza akan mencari cara sampai Araminta akan membuka mulutnya. Cowok itu lebih kepo dari mamak-mamak kompleks julid yang senang bergosip sambil merubungi gerobak tukang sayur. Alasan lain, Urbano adalah pacar yang baik dan setia—beda banget sama pacar-pacar Mirza terdahulu. Saking bedanya, sekarang dia hanya bertengkar karena hal-hal remeh, seperti saat Urbano lupa menutup pintu pantry, atau karena menonton serial Netflix tanpa dirinya. Kita berdua nggak ada bedanya sama pasangan yang udah lima puluh tahun menikah, adem ayem terus setiap harinya, kata Mirza sekali waktu. I'm fucking gay, Ra. I need a certain dose of gossip and drama or I will literally die. DIE, I SAY!


"Udah deh, nggak usah belagak kayak ertong yang dikit-dikit bilang 'no comment.' What happen? Did you do something fun last night?" Matanya melebar kayak boneka Annabelle ketika bertanya lagi, "Did you two ended up fuckingggg?"


"The fudge?!" Araminta buru-buru membekap mulut ember Mirza, nggak lupa melirik ke kiri dan ke kanan, takut ada yang dengar. Tapi kemudian dia menyadari, hanya ada satu pengunjung di kafe mereka itu, dan orang itu duduk di meja paling sudut, memanfaatkan Wi-Fi kafe untuk menonton entah apa di YouTube. Araminta nggak sengaja mencuri pandang ke layar laptop saat mengantarkan avocado latte pesanan orang itu—dan, tetep lho, nggak tahu dia lagi nonton apa. Video konspirasi? Tutorial DIY? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.


Takut Mirza bikin malu lagi, Araminta menyeret cowok itu ke balik meja kasir. Dia tahu, artinya Araminta akan bercerita, tapi dua menitan lebih ditunggui tetap nggak buka mulut juga. Cowok itu mulai nggak sabaran, sementara Araminta malah mengunyah barang jualan sendiri—snickerdoodle yang masih banyak tersisa sejak di-display di meja kasir hari Jumat minggu lalu. Dia menggunakan waktunya untuk menikmati rasa gula dan kayu manis yang tercampur sempurna di dalam mulut sambil memikirkan cara untuk menceritakan tentang kencan semalam tanpa harus marah-marah.


Karena kalau di-rating kayak barang jualan di Shopee, Raymond dan pengalaman first date bersamanya nggak layak mendapat bintang barang sebijik pun. Yes, that bad.


Seperti janjinya tadi, Araminta akan bercerita tentang cowok yang dikencaninya. Atau, berdasarkan namanya di profil: Raymond, 37. Bio-nya juga menarik:


A big fan of Juventus.

I'll forgive you if you're more into Inter Milan,

but only if you watch all the episodes of Game of Thrones and/or The Office.

I like reading, mostly self-help and memoirs of soccer legend.

Rain + black coffee = happiness.

I hike sometimes.

Swipe left if you think I'm worth of your precious time.


Ada tiga foto di profilnya, yang sudah Araminta pastikan keotentikannya (thanks, Yandex.com). Kesan yang dia dapat dari ketiganya, cowok itu sepertinya laid back and asyik diajak mengobrol. Dia sampai bisa membayangkan membuatkan dua gelas kopi—for him, black, and for her, cappuccino—dan duduk berdekatan sambil menikmati pemandangan hujan di balik jendela. Sounds like a scene from Korean drama.


Tapi kemudian dia bertemu dengan cowok itu. Hasilnya berbanding terbalik dengan fantasinya itu.

Happiness Can't Buy Money (PREORDER NOW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang