*****

273 35 1
                                    

Adalah pengalaman yang universal kadang-kadang merasa terasing di acara keluarga. Tapi ini bukan rencana Araminta malam ini, dan orang-orang ini pun bukan keluarganya. Dia memejamkan mata, mencoba mengusir mimpi buruk ini dari realitas hidupnya, dan berharap semuanya hilang saat membukanya lagi.


But no.


Bunda Raymond nggak berhenti tersenyum saat menatap Araminta, dan tangan keriput Eyang Putri nggak kunjung berpindah dari punggung tangannya. Dia tadi sempat berpikir akan pamit pulang setelah ikut bernyanyi "Happy Birthday" bersama dan menyaksikan Eyang Putri memotong kuenya. Tapi sekarang, dia benar-benar nggak bisa. Sebagian dari dirinya ingin segera memeluk slingbag dan menenteng sepatu, supaya larinya lebih kencang saat meninggalkan semua ini. Tapi masa iya sih dia mampu berbuat sejahat itu? Apalagi ke Eyang Putri?


Sementara itu, Araminta melihat Raymond duduk di sebelah pria yang dia asumsikan adalah ayahnya. Pria itu lumayan mirip dengan Raymond, dan kini menyodorkan handphone istrinya yang tadi di-charge di ruang tamu. "Foto bareng yuk, Ra," pinta Bunda Raymond, menarik beliau juga supaya ikut serta.


Klik.


"Sekali lagi ya, Ra."


Araminta mengangguk. Klik.


Tatapan Bunda Raymond teralih ke suaminya. "Ayah mau dibikinin kopi nggak?"


Beliau membalas dengan gelengan pelan. "Habis ini mau ikut merokok dengan Harun dan Yahya di depan."


"Oh." Bunda Raymond tersenyum. "Kalau rokok kamu udah habis, ada stok satu bungkus lagi di laci lemari ruang tamu."


"Sip. Makasih, Sayang." Ayah Raymond melirik anaknya. "Kamu ikut, Ray?"


"Nggak, Pa. Di sini aja."


Well, well, well. Siapa yang akhirnya membuka mulutnya. Araminta menatap cowok itu lekat-lekat. Memang sih, Raymond manis. Rambutnya ikal berantakan seperti Harry Styles, dengan bibir tebal yang berdasarkan teori Mirza masuk kategori 'very kissable'. Wajahnya tampak tegang, kemungkinan besar karena dia khawatir dengan situasi ini. Seenggaknya, Araminta berharap cowok itu beneran khawatir.


Karena nggak peduli se-Harry Styles apa pun dirinya, ini benar-benar nggak lucu! Nggak hanya berbohong soal mobil rusak, dia juga memerangkapnya di acara ulang tahun Eyang Putri. Dan setelah berada di sini cukup lama pun, Araminta merasa masih ada yang butuh penjelasan langsung dari mulut cowok itu. Dan semakin lama dia memikirkannya, dia merasa semakin gila. Tapi Araminta juga tetap nggak bisa pergi.


"Raymond bilang, kamu resign dari Figaro's dan sekarang punya usaha sendiri ya?" tanya Bunda Raymond.


"Iya. Kafe."


"Dulu kamu bikin masakan apa aja di sana?"


"Pastry dan cake, Bun." Mulut Araminta masih belum terbiasa menyebut 'Bunda' ke orang yang clearly bukan ibunya. "Tapi waktu sekolah dulu, diajarin juga masak masakan tradisional dan masakan Eropa."


"Oh ya? Hebat itu!" Tatapan beliau kini menyorot ke seberang meja. "Wah, Ray, kamu pinter banget ya! Sengaja gitu nyari calon istri yang pinter masak."


'Scuse me? I am his WHAT now?

Happiness Can't Buy Money (PREORDER NOW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang