******

282 37 1
                                    

C-C-CALON ISTRI?!


Sengatan kaget mendorong Araminta mengirimkan tatapannya ke arah kursi Raymond. Alih-alih berteriak, atau menelan cowok itu bulat-bulat, dia melotot ke cowok itu.


What on devil's cake is happening here? Perasaan dia baru deh kenal sama Raymond. Ngobrol sama dia, via WhatsApp maupun lewat telepon, beberapa minggu terakhir, yang berujung ke rencana ketemu untuk pertama kalinya. So how come... dan apa juga basisnya sampe dia HALU, mikir kami bakalan married? Married lho ya, bukan pacaran. That shit has different level of halu!


Raymond balas menatap mata Araminta sesaat sebelum pura-pura sibuk dengan piringnya yang sudah kosong. Oh, that's a sign of guilt for sure. Tangan Araminta terkepal di bawah meja. I'm gonna kill him. Belum kepikiran gimana persisnya, tapi seratus persen niat gue bulet banget bakal ngebunuh itu manusia!


OH MEIN GOTT....


"Rasanya Bunda udah kenal kamu dari lama karena Raymond nggak bisa berhenti cerita tentang kamu." Bunda Raymond menepuk lengan Araminta sembari tersenyum lembut. Alih-alih merasa nyaman, bulu kuduknya malah merinding disko karenanya. "Nggak ada keraguan kami sedikit pun kalo tentang perasaan kalian satu sama lain."


"M-M-Makasih, Bun." Araminta menelan ludah. Menyadari lidahnya sudah kehabisan stok dusta, dia merasa harus meninggalkan ruangan itu. "Euh, maaf sebelumnya, kamar mandi kita di mana ya, Bun?"


"Lurus ke lorong di sebelah kanan, mentok, belok kanan lagi."


Araminta bangkit dari kursi dan mendapat tatapan curiga dari Eyang Putri. "Ke kamar mandi doang kok tasnya ikut dibawa, Sayang?"


Cewek itu sempat bengong sesaat, lalu terpikir alasan yang selalu manjur setiap saat. "Barusan dapet."


Beliau bengong. Lalu membelalak. Lalu manggut-manggut dengan muka bersemu merah.


"Permisi dulu, Eyang, Bun."


Sebenarnya sih pengennya langsung kabur, buka pintu, dan hilang di kegelapan malam. Tapi baru selangkah keluar dari dapur yang merangkap ruang makan itu, dilihatnya ruang tamu sudah ada penghuninya. Tepatnya, cewek Kardashian lagi nonton Tik Tok sambil ketawa-ketawa dan keponakan-keponakan Raymond bermain entah apa di atas lantai. Nggak hanya itu, dari kejauhan dia bisa melihat kepulan asap rokok geng bapak-bapak di luar rumah.


Shittake-lah!


Dengan mulut masih terus mengumpat lirih, Araminta akhirnya benar-benar ke kamar mandi. Menutup pintu di belakangnya, lalu berhenti di depan cermin wastafel. Menatap bayangannya lama-lama sambil menarik napas panjang.


Gimana pun caranya gue harus pergi dari sini, pikirnya. Araminta melihat ke sekelilingnya dan menyadari nggak ada tempat kabur juga di kamar mandi sialan ini. Kecuali gue bisa berubah bentuk jadi tikus, baru deh bisa kabur dari lubang di langit-langit.


Rencana lain yang nggak kalah urgent-nya adalah membunuh Raymond. Entah itu dengan salah satu metode dari episode Criminal Minds atau venting sampai cowok itu lengah dan, BOOM, (please don't judge, I watched a lot of TV series and played Among Us during the quarantine) he's dead! Memang sih, risiko ketahuannya juga sama besarnya, secara Araminta nggak pernah membunuh sebelumnya. Membunuh ayam saja nggak pernah, selalu beli yang sudah dipotong dari abang-abang jualan di pasar dekat rumah. Tapi kalau Raymond masih hidup, gue akan tetap berstatus sebagai calon istrinya—


Tok, tok, tok.


"Ada orangnya."


Tok, tok, tok.


"Iya, iya. Sabar ya. Bentar lagi kelar kok," seru Araminta lagi, yang masih belum tahu apa yang harus dia lakukan.


Jadi sebenarnya ada solusi satu lagi: berterus terang ke Bunda Raymond dan anggota keluarga yang lain. Tapi berkaca dari yang dilihatnya selama pesta, Eyang Putri sama ringkihnya dengan daun kering. Mendengar kenyataan kalau cucunya adalah pembohong halu yang licik terlalu berat untuk jantung tuanya.


"Ini aku,Ra." 


Happiness Can't Buy Money (PREORDER NOW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang