**

223 27 1
                                    

Baru saja meletakkan handphone di pangkuan, Soren tiba-tiba teringat aturan yang melarangnya meninggalkan hotel sampai hari terakhir syuting. Semua orang harus menurut, tanpa terkecuali.

Shit.

Soren ingin bertanya ke sutradaranya lewat WhatsApp tapi kemudian memutuskan kalau lebih baik menemuinya dan menanyakan secara langsung. Soren pun mandi dan lekas-lekas berganti pakaian. Kebetulan sekali sudah saatnya makan, jadi kemungkinan besar dia bisa bertemu dengan para pemain dan kru di restoran hotel.

"Seger amat, udah mandi ya," sapa Eylien, salah satu pemain, yang ditemuinya sedang menunggu lift juga. Cewek itu sendiri sudah tampak rapi dan beraroma parfum floral yang menguar agresif ke sekelilingnya. Dia juga mengenakan trainer set Fendi yang sewarna dengan masker, tas tangan, bahkan sepatunya.

"Iyalah. Gerah banget syuting outdoor seharian. Lo sendiri gimana?"

"Maksud lo gimana rasanya syuting di ruangan ber-AC dan ada scene makan gelato juga hari ini? Way better than you."

Soren tertawa. "Sial!"

Ting!

Hanya ada dua orang saja di dalam lift, salah satunya adalah sutradaranya. Raden tampak terkejut melihat Soren dan Eylien, tapi yang lebih terlihat nggak nyaman justru cewek di sebelahnya. Dia refleks berusaha menyembunyikan dirinya di balik tubuh tinggi besar Raden.

"Lho, kok malah naik? Udah kelar, Mas, makannya?"

"U-udah."

Mereka seperti gantian menggunakan lift, Soren dan Eylien masuk, sedangkan kedua orang itu keluar dengan langkah terburu-buru.

"Eh, ngomong-ngomong, Mas. Ada yang mau aku obrolin. Mas ada waktu nggak—"

"Besok aja!" potong Raden tanpa menoleh sedikit pun.

"Tapi—"

Ting!

Pintu besi perlahan menutup, membuat Soren hanya bisa menghela napas kecewa.

"So the gossip is true," celetuk Eylien out of the blue, dari balik masker fancy-nya.

"Gosip apa?"

"Yang kita liat barusanlah!" Cewek itu menaikkan sebelah alisnya. "Mas Raden bikin side project sendiri selama syuting webseries ini: main gila di belakang istrinya."

"Yang bener?! Jadi yang tadi sama dia...."

"Obviously bukan keponakannya." Eylien tertawa sinis. "Dan gue tahunya juga dari para kru, yang tadi itu adalah cewek bookingan."

Mata Soren membulat kaget. "SERIUS?!"

"Hipokrit banget dah, asli! Untuk ukuran yang bersikeras semua orang harus matuhin protokol kesehatan dan nggak bisa ke mana-mana, si berengsek itu justru seenak udel masukin cewek-cewek nggak jelas ke lantai kita." Eylien mendengus. "Makanya sekarang mulai pada berani pergi-pergi. Aturan karantina semacam nggak berlaku lagi."

"Hah? Kok gue baru pertama kali denger soal ini?"

"Karena lebih tersirat ketimbang tersurat. Cuman yang tahu tentang kelakuan Mas Raden aja yang ngerasa berhak buat ngelanggar aturan itu. Like me!" Senyumnya melebar. "Gue mau pergi nge-mall ini. I miss my squad—dan yang paling penting, gue juga kangen shopping. Ada tas lucu di gerai Fendi yang udah ngerengek-rengek minta dibeli."

Soren nggak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Lo nggak ada niatan break free? Lo kan ikutan liat tadi."

"Errr...." To be honest, dia memang ingin pergi. Tapi nggak pernah kepikiran bakal seperti ini caranya.

"Suit yourself then." Eylien mengangkat bahu. "But just so you know, bodoh aja nggak ngambil kesempatan kabur kayak gue dan yang lainnya."

"...."

"Sebodoh orang yang ngembaliin dompet yang dia temukan ke kantor polisi," kata cewek itu lagi sambil menaikkan sebelah alisnya. "Mending dipikir lagi baik-baik. Karena nggak semua orang yang punya cheat code buat take a break dari karantina sialan ini."

Ting!

"TTFNH—Ta Ta For Now, Handsome!" Eylien mengirimkan air kiss sebelum meninggalkan Soren sendirian di depan lift.

Soren sempat meragu. Dia menyadari dirinya nggak punya bakat memberontak seperti Eylien. Tapi kemudian dia menoleh ke arah restoran dan melihat penata rias mereka, Paramita, berkacamata bulat dan rambut pendek berponi yang menutupi sebagian besar dahinya (sekilas mengingatkan Soren pada Edna Mode di film The Incredibles), sedang bersandar ke bingkai jendela kaca. Cewek itu tampak nggak memedulikan keramaian di sekitar, malah sibuk sendiri dengan handphone di tangannya.

"Udah selesai makannya?" tanya cowok itu ketika menghampiri meja Paramita. Cewek itu tampak gelagapan dan hampir saja menjatuhkan handphone-nya. Soren nggak sengaja melirik ke layar, cewek itu ternyata sedang menonton videoklip Little Mix terbaru.

"U-udah." Paramita menunjuk ke piring yang dijauhkan dari hadapannya. "Mas sendiri gimana?"

Soren menggeleng. "Hmm, kalo gitu, aku bisa minta tolong nggak? Aku pengen keluar malam ini, kamu punya sesuatu yang bisa aku pinjem buat nyamar nggak?"

Alih-alih protes kenapa Soren bisa keluar tanpa izin, Paramita malah bertanya, "Maksudnya wig atau apa gitu?" Sepertinya cewek itu juga tahu tentang ekstrakulikuler sutradara mereka.

Sambil tersenyum menggoda, dia bertanya lagi, "Mas nyamar buat apa memangnya? Nggak lagi ngerencanain yang kriminal-kriminal gitu kan?"

"Nggaklah!" Soren tertawa. "Aku cuman butuh nggak dikenali aja. Gimana?"

"Sebenarnya wig sih solusi yang terbaik. Sayangnya, buat syuting ini, aku nggak bawa yang buat cowok." Paramita terdiam sesaat. "Tapi Mas Soren bisa aku pakein jenggot deh!"

"Jenggot? Kamu punya emangnya?"

"Punyalah. Main beberapa cast yang cowok kan bakalan pake—buat adegan sepuluh tahun kemudian di episode terakhir." Paramita melirik ke kiri dan ke kanan, seolah khawatir ada yang menguping percakapan 'rahasia' mereka. Setelah merasa aman, perhatian cewek itu kembali tertuju pada Soren. "Langsung ke kamar aku aja yuk, Mas. Perlengkapan kerja aku tinggal di sana semua."

Soren mengangguk patuh.


--

double posts today because I'm in a good mood~

Happiness Can't Buy Money (PREORDER NOW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang