-Mendarah-
Berjuang dalam hal pendidikan di negeri orang itu tidak seindah para youtuber itu katakan. Namanya juga media sosial, yang ditampilkan adalah yang bagus-bagus saja. Tidak mungkin toh yang jelek? Beberapa diaspora yang aku kenal selama di Paris berlomba-lomba membuat akun youtube channel untuk pemasukan cadangan mereka selain kerja parttime. Tetapi, entah kenapa aku tidak begitu tertarik.
Kendala bahasa seringkali aku alami disini. Walaupun sebelumnya, aku sudah diberi kursus yang bersifat wajib di Paris sebelum aku memasuki dunia perkuliahan yang sebenarnya. Tentu saja aku tidak mengalami ospek-ospek konyol yang ada di Indonesia seperti yang dialami teman-temanku. Aku boleh sedikit pamer di bagian ini.
Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia, aku sudah direkrut sebuah perusahaan swasta di Indonesia –kantor cabang Padang, Sumatera Barat. Omku yang bekerja disana memintaku untuk menghandle perusahaan itu. Memang ini privilege yang aku terima, tetapi aku tetap menjadi karyawan kontrak di awal untuk melihat kesungguhanku sebelum akhirnya aku ditetapkan sebagai karyawan tetap.
Banyak teman-temanku yang memilih menetap di Paris, tetapi aku masih ingin kembali ke Indonesia. Harus kuakui, kehidupan disana lebih terjamin dan udaranya lebih bersih dibandingkan disini. Tapi, aku masih punya keluarga disini yang menanti diriku untuk kembali.
Aku bekerja di Padang selama 2 tahun dengan adaptasi lingkungan yang luar biasa sulit. Lalu, setelahnya aku diminta pindah ke Jakarta. Ah, aku terakhir kali ke Jakarta saat transit saja. Sekarang, aku harus kembali ke Jakarta untuk bekerja. Aku pikir, saat aku menghabiskan waktu selama 3 tahun untuk pendidikan SMA sudah cukup. Ternyata, semesta lagi-lagi mengarahkan hidupku disini. Stir kehidupan yang begitu lucu.
"Mocha Frappucinonya 1 ya, mbak," aku berkunjung ke Starbucks dekat kantor. Hari itu aku baru saja balik dari prospek dan berniat mendinginkan otak sejenak. Lagian, sudah mau dekat jam pulang. Bekerja dengan suasana Padang dan Jakarta itu benar-benar beda. Aku harus menjalani adaptasi lingkungan lagi. Jakarta yang dulu dan sekarang itu sangat berbeda. Infrastrukturnya juga sudah berkembang pesat. Saat aku menginjakkan kaki lagi disini, aku cukup terkejut melihat perubahannya. Termasuk meningkatnya polusi udara. Itulah mengapa banyak orang yang kehilangan beberapa usia karena tingkat stresnya meningkat selama hidup disini.
Aku mengedarkan pandanganku. Iseng. Lalu, mataku menangkap seorang perempuan berkacamata yang sibuk menggulirkan iPadnya. Orang itu tidak asing, menurutku. Aku memberanikan diri mendekatinya setelah pesananku sudah kuterima.
"Kinara Pradnyaswari?"
Dia mendongak dan mencoba mengingat-ingat, "Rian Ardianto?"
Aku mengangguk semangat, "Kamu anak SMA Negeri 47 kelas IPA 3, kan?"
"Iya benar!" dia tidak kalah semangat. "Wah, Rian apa kabar?"
"Baik."
Perempuan itu bernama Kinara Pradnyaswari. Ia teman SMAku. Ia menyuruhku duduk di kursi seberang dan aku menurutinya. Binaran matanya terlihat jelas, wajar kami tak pernah bertemu dan berkomunikasi terakhir saat lulus SMA. Jaman saat itu, teknologi belum semudah sekarang.
-Mendarah-
"Mel, kan lo janji traktir gue kalau habis UN. Jadi?"
"Jadi weh. Ayo."
Aku tidak sengaja mendengar percakapan itu saat aku sedang menyantap bakso di kantin bersama Mbak Rizki –pacarku yang saat itu sudah duduk di semester awal kuliah. Sehabis UN, aku mengajaknya untuk makan bakso karena Mbak Rizki sedang kepengen bakso kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Mendarah
FanfictionKetika melepaskan juga arti dari Mencintai. Cerita tentang rumah yang berbeda. Setelah sekian tahun lamanya, Anggika Kanigara Pradnyaswari; yang tidak pernah menemui ayah kandungnya, akhirnya berhasil mengalahkan egonya. Kinara; Ibu Kandungnya, meny...