9. Fajar

88 14 7
                                    

Aku tidak mengerti apa itu perasaan cinta.

Selama ini aku menganggap perasaanku dengan Kinara adalah cinta, nyatanya aku mengkhianatinya. Apakah perasaanku kepada Tania adalah cinta?

Setelah 3 bulan aku dilarang menginjakkan kaki di rumah Bandung (sekaligus pasca bercerai dengan Kinara), aku memberanikan diri menghadap Mama serta membawa Tania. Aku tahu, aku terlihat seperti ingin membunuh diriku sendiri dan tidak tahu malu. Apalagi, disana pasti ada Kang Rafli yang pasti sudah akan mengusirku.

Aku masih beruntung ternyata. Sesampainya aku di rumah, Kang Rafli sedang bersama istrinya ke rumah sakit. Hanya Mama seorang. Mama begitu terkejut dengan kedatanganku, terlebih lagi aku membawa Tania. Orang yang menjadi sebab aku berpisah dengan Kinara, katanya.

"Mama tidak setuju kamu menikah dengan Tania! Sudah berapa kali Mama bilang?" suara Mama meninggi ketika aku berniat meminta ijin untuk menikahi Tania. Aku sudah pernah meminta ijin via telepon, tetapi Mama menolak. Aku berpikir, Mama akan luluh ketika aku membawa serta Tania dan meminta ijin secara langsung. Ternyata, tidak juga jawabannya.

Sejak tadi, Tania hanya diam. Aku memang menyuruhnya untuk diam saja. Biarlah ini urusanku dan aku yang menyelesaikannya. Meski aku tahu, dia tak tahan untuk menyampaikan suaranya. Berkali-kali aku mengeratkan genggaman mengingatkannya untuk cukup diam.

"Ma, Tania nggak punya siapa-siapa disini. Cuma punya Fajar. Fajar mau temani Tania biar dia merasa aman dari traumanya," jelasku.

"Kamu saja gagal mempertahankan rumah tanggamu dengan Kinara, gagal jadi ayah yang baik untuk Anggika, mau sok-sokan melindungi perempuan itu dengan menikahinya? Kamu bercanda?"

Aku terpaku mendengarnya.

"Kinara awalnya juga tak punya siapa-siapa di dunia ini; cuma kamu seorang. Lalu kamu mengkhianatinya dan membuat Mama juga hancur! Sekarang, kamu dengan lancangnya meminta restu dari Mama untuk menikah dengan perempuan penyebab hancurnya rumah tanggamu sama Kinara? Kamu hanya kasihan, kan, sama perempuan ini? Kamu harus bisa bedakan saat kamu tulus atau hanya kasihan!"

"Mama!"

Mama ingin beranjak meninggalkan kami, tetapi langkahnya terhenti karena tiba-tiba beliau memegang dadanya yang nyeri. Aku berniat membantunya namun ditepis.

"Mama nggak akan pernah memberimu restu. Terserah kamu mau tetap menikahinya atau tidak. Selamanya, Mama akan menganggap Kinara sebagai bagian dari keluarga Alfian dan menantu Mama," papar Mama, tatapannya beralih ke Tania. Begitu tajam. "Jangan harap kamu saya anggap dari keluarga Alfian. Paham?"

Mama berlalu meninggalkan kami. Tania sudah terisak, begitu sakit menerima cercaan dari Mama. Aku juga sakit mendengar penolakan dari Mama, bahkan selamanya Ia akan tetap menganggap Kinara sebagai menantunya. Meski begitu, aku tetap menikahi Tania meski tanpa restu dari keluarga.

-Mendarah-

Hari ini perayaan Galungan. Kemarin, penduduk Bali sudah disibukkan dengan gotong royong membuat lawar. Seminggu sebelumnya, penduduk Bali juga sudah disibukkan dengan membuat Penjor. Dan hari ini, umat Hindu melaksanakan persembahyangan lalu dilanjutkan dengan kumpul keluarga. Galungan ini seperti perayaan Idul Fitri versi umat Hindu.

Hah.. Sudah berapa lama aku tak merayakan Idul Fitri dengan keluarga? Lagipula, apa ada yang masih menganggapku keluarga?

"Pak Fajar, saya ada jajan sedikit buat Bapak. Mohon diterima, nggih," Pak Ketut, salah satu petani yang sering kusapa untuk mampir ngopi dirumah, membawakan aku sekeranjang buah dan jajan khas Bali untukku. Aku menerimanya dengan senang hati.

[✔️] MendarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang