15. Anggika

107 13 4
                                    

Bunda Kinara dan Anggika kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bunda Kinara dan Anggika kecil

Kelompok Presentasi Lala Lele:

Dian

"Ika, presentasi besok udah siap?"

Anggika Pradnyaswari

"Beres."

"Besok tinggal siapin mental aja kalau di kasi pertanyaan."

Aku menutup laptop yang sudah ku matikan. Beberapa bungkus chitato dan lays yang menemaniku sejak tadi mulai kukumpulkan dan kumasukan ke tong sampah. Merenggangkan tubuhku yang pegal dan mulai berjalan ke arah tempat tidur. Ingatkan aku untuk besok membeli sekotak J.CO untuk apresiasi diri atas presentasi yang berhasil.

Setiap presentasi mata kuliah, entah kenapa selalu aku yang kena bagian mempresentasikan materi. Sebenarnya gantian sih, tapi tetap saja aku yang lebih mendominasi. Mereka bilang kalau gaya presentasiku lebih mudah dipahami. Aku berterima kasih untuk hal itu, tetapi aku tidak mau membuat mereka terhambat belajar bicara di depan umum. Bagaimana pun, karakter introvert tidak bisa dijadikan alasan dirimu tak bisa berbicara di depan umum.

Di usiaku menginjak 23 tahun ini, banyak pengalaman yang aku dapatkan sejak aku menyadari –aku hidup di bumi ini. Banyak teman-temanku mengira bahwa hidupku baik-baik saja. Ya biarlah seperti itu. Aku terbiasa membiarkan apapun penilaian orang terhadapku. Lagian, tanganku cuma dua. Tidak bisa aku gunakan untuk menutup banyak mulut. Aku tidak suka harus mendramatisir penderitaanku, karena aku tidak mau merasa jadi manusia paling menderita.

Aku rasa, kemampuan berbicara di depan umum ini adalah kemampuan Bundaku yang mengalir dalam tubuhku. Kemampuan memendam masalah juga kemampuan beliau. Tetapi, untuk kemampuan membuat teman-temanku tertawa adalah kemampuan Ayahku. Bunda bilang, jika aku sedang melucu atau otakku gesrek, berarti itu sifat Ayah.

Aku menyadari bahwa aku merasa 'hidup' adalah ketika menginjak 3 tahun. Aku masih ingat kala itu aku sedang digendong oleh Ayah karena aku merengek sakit demam. Seluruh tubuhku nyeri. Bunda saat itu sedang bekerja dan aku dirawat Ayah dirumah sambil memantau kondisi kedai kopi. Kedai kopi yang merupakan tempat bersejarah Ayah dan Bunda saling jatuh hati (aku merinding disko saat menulis ini).

Aku dididik dengan kasih sayang yang tak pernah putus. Namun, meski Ayah memanjakanku sebagai anak perempuan yang paling Ia sayangi, Ia tetap membatasiku jika ada suatu hal yang berlebihan. Contoh, karena aku suka makan eskrim, maka sebulan itu aku hanya boleh 3 kali makan es krim. Jika aku melanggar, jatah makan es krimku bulan berikutnya akan dikurangi menjadi 2 dan seterusnya. Ayah secara tidak langsung mendidikku konsisten, bahkan sampai detik ini, sifat konsisten ini juga masih mendarah.

Konsisten untuk tidak menghubungi Ayah sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.

-Mendarah-

[✔️] MendarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang