6. Fajar

150 17 15
                                    

Setiap kali aku terbangun dari tidur, aku merasa ada di posisi: Apa aku masih pantas diberi waktu untuk hidup? Meski aku tidak ada niat sekali pun membunuh diriku sendiri, tapi biarlah aku menunggu Tuhan untuk mencabut nyawaku.

Vonis penyakit liver yang sudah menghantuiku sejak 8 tahun yang lalu. Aku sudah lupa kapan terakhir aku berobat. Mungkin saat aku masih tinggal di Jakarta. Dokter yang dulunya merawat Tania semasa hidupnya, menjadi dokter yang selalu melihat kondisiku. Setelahnya, aku memutuskan untuk berhenti berobat dan lari ke Bali.

Aku kira, Tuhan tidak mau memberiku waktu untuk bernafas. Tapi, sampai 8 tahun kemudian, aku masih diberi waktu. Entah untuk apa. Aku tidak berusaha mencari tahu.

Aku pernah berkata bahwa aku punya impian untuk mempunyai sebuah rumah di lingkungan asri Ubud. Dekat dengan area hijau sawah dan menenangkan. Aku lebih suka jika ada tambahan suara jangkrik pada jam-jam sandikala. Lebih sunyi dan tenang untuk usia-usia setengah abad -lebih dikit- macam diriku ini.

Saat ini aku sedang santai menikmati Tegalalang Coffee, menu racikanku sendiri dan dicicipi pertama kali oleh mantan istriku, Kinara Pradnyaswari. Menanti matahari terbenam dan menanti paduan suara jangkrik sebentar lagi.

Kata Kinara, karena Tegalalang Coffee ini, Ia jatuh cinta dengan apapun yang ada Matchanya.

-Mendarah-

Kedai Kopi yang ku dirikan pertama kali di Jakarta itu disambut baik. Kemajuan media sosial atau ghibah dari mulut ke mulut membuat kedai ini cepat dikenal. Awal-awal kedai dibuka, aku masih membantu para karyawanku yang rata-rata masih pemula. Aku mengajar mereka dengan sabar meski sebenarnya lama- lama aku kesal juga. Kenapa mereka nggak paham-paham sih?!

"Pak, ada yang minta menu rekomendasi," ujar salah satu pegawai bernama Putri. Menu rekomendasi kedai ini, baru aku saja yang bisa membuatnya. Sedikit ribet sebenarnya. Maka dari itu, harus aku yang membuatnya.

Saat aku ingin mengantar menu ini ke meja itu, aku yakin perempuan ini cantik. Dilihat dari sekilas saja, dia sudah terlihat cantik. Tapi, aku kembali fokus untuk melihat apa yang Ia pakai. Seperti, sepatu kerja? Aku hanya memastikan jika dia benar-benar perempuan, bukan seperti penyanyi yang bernama Mawang.

"Permisi, mbak. Ini kopi pesanannya," kataku ramah. Saat aku melihat wajahnya, aku tak salah menilai. Dia benar-benar cantik. Parasnya itu aku yakin, walau tanpa berbalut make up-pun, dia pasti cantik. Aku sempat terpana beberapa detik melihatnya dan menunjukkan senjata khasku: Senyum. "Saya taruh di meja ya, mbak,"

"Iya, terima kasih," katanya.

Aku berlalu dan berjalan lambat. Aku ingin sekali bertanya namanya waktu itu. Tapi, pelanggan makin lama makin banyak berdatangan. Membuat niatku untuk menyapa lagi perempuan itu tertunda. Dari kejauhan, aku merasa diperhatikan dan tentu saja aku tahu. Saat aku berniat mampir ke mejanya, telponku berdering dan ternyata Mama sudah tiba di Jakarta. Waktunya aku menjemput beliau. Aku menitipkan kedai ini ke anak-anak dan berpesan, jika ada yang memesan menu yang belum bisa mereka buat, bilang saja lagi sold.

Berlalu dari kedai, aku berdoa semoga sekembalinya aku dari Bandara, perempuan itu masih ada disana. Aku begitu semangat.

Sekitar pukul 8 malam aku tiba kembali di kedai dan doaku tak terkabul. Perempuan itu sudah menghilang dari tempat duduknya, entah pada jam berapa. Interaksi kami memang hanya sebatas aku sebagai waiter dan dia sebagai customer. Tapi, aku tertarik mengenalnya lebih jauh. Kesan misteriusnya membuat aku penasaran. Aku meminta semesta untuk mempertemukan kami kembali.

[✔️] MendarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang