Different Way

55 6 2
                                    

Pada hari dimana Fajar menginjakkan kaki kembali di Jakarta, hari itu pula Ia mengajak Kinara bertemu. Ia sempat berbohong kepada Anggika bahwa Ia ingin bertemu dengan rekan kerjanya yang sudah lama pindah.

Sejak Kinara membuka pintu patieserie shop itu, sudah tampak diujung sana ada Fajar menanti kehadirannya. Lupakan sejenak mengenai usia mereka yang sudah tua. Hadir disana, wajah dan fisik mereka seolah kembali seperti pertama kali bertemu.

Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, pelanggan yang datang juga tidak terlalu ramai. Makanan yang mereka pesan sudah ada di meja. Fajar dengan es kopinya, Kinara dengan red velvet cake dan Matcha Latte. Untuk minuman itu, Fajar sempat tertegun. Minuman favorit mantan istrinya itu tidak pernah berubah.

"Ika bilang kalau kamu kebetulan mau ke Jakarta karena urusan bisnis," Kinara membuka percakapan setelah menyesap Matcha Lattenya. "Sekalian hadir di wisudanya."

Fajar mengangguk. "Sebenarnya aku nggak mau ke Jakarta dekat-dekat ini. Masalah bisnis juga nggak begitu mendesak. Tapi, karena Ika minta aku hadir di wisudanya, jadi pergi lebih awal."

Saat Fajar melihat Kinara pertama kalinya setelah sekian lamanya, hatinya tak pernah baik-baik saja. Ia sangat yakin Kinara sangat bahagia dengan Rian. Tetapi, ingat sekali Kinara pernah hancur karena dirinya. Ekspresi marah, kecewa dan sedih menjadi satu. Ekspresi itulah yang membuatnya trauma. Dan bodohnya itu karena dirinya sendiri.

Debaran itu masih ada, ternyata. Sama seperti ketika pertama kali bertemu.

"Kondisi kesehatan kamu kayaknya membaik ya? Salinan hasil labnya aku lihat, liver kamu udah mulai membaik."

"Harusnya kamu nggak perlu nerima salinan itu," entah kenapa Kinara tak suka mendengar respon Fajar ini. "Maksudku, kamu nggak perlu segini repotnya untuk memantau kesehatan aku. Aku bisa kok kontrol kesehatan sendiri."

"Kalau bukan Mas Rian yang minta, aku udah pasti nurut sama permintaan kamu itu," benar. Kinara pun rasanya enggan untuk memantau kondisi Fajar. Masalahnya, Rian yang minta. Bahkan di saat Ia di detik terakhir pun, Rian selalu mengingatkan dirinya untuk tetap perhatikan kondisi Fajar. "Kalau kamu minta berhenti, aku bakal berhenti minta salinan itu."

Fajar tahu maksud Rian baik. Tapi, Ia tidak mau merepotkan hidup orang. Kehadirannya di bumi saja rasanya sudah membuat banyak orang repot. Ia tidak mau membuat Kinara merasa memiliki tanggung jawab untuk dirinya yang pernah menyakitinya. Masa lalunya yang kelam.

Mari mengganti topik. Tidak perlu ada debat disini.

"Ika katanya dapat beasiswa di Paris?" Kinara mengangguk. "Kira-kira kapan dia berangkat?"

"Aku belum terima kabar lagi. Sepertinya akhir tahun ini. Jadi, setelah wisuda, dia harus urus segala dokumen penting. Paris itu jauh dari Indonesia."

Entah kenapa, mendengar anaknya akan kuliah di Paris membuat Fajar bersedih. Rasanya baru sebentar Ia bisa dekat dengan anak satu-satunya itu, lalu harus ditinggal lagi ke negara yang sangat jauh dari Indonesia. Tapi, keputusan itu yang terbaik. Apapun yang baik untuk anaknya, mau tidak mau Ia harus dukung.

"Kamu baik-baik saja kan selama di Bali?" pertanyaan dari Kinara, sama dengan Anggika.

"Aku nggak baik-baik aja,"

Fajar jawab sesuai apa yang dia alami. Sisi yang harus disyukurinya adalah walaupun berjalan 'tidak baik-baik saja', dia tetap bisa melewati ini semua. Kinara hanya mengangguk pelan dan tidak bertanya lebih banyak lagi. Dia tahu, pasti Fajar akan menjawab seperti itu. Tak perlu ditanya, Kinara sudah membayangkan bagaimana keadaan yang 'tidak baik-baik saja itu'

[✔️] MendarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang